ZURICH, DISWAY.ID-- Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang memberlakukan tarif baru antara 10 persen hingga 41 persen terhadap impor dari 69 mitra dagang, termasuk Kanada, Brasil, India, Taiwan, dan Swiss.
Kebijakan ini menaikkan rata-rata tarif efektif AS dari hanya 2,3 persen menjadi sekitar 18 persen, paling tinggi sejak era 1930-an.
Pengumuman tarif besar ini disertai data tenaga kerja AS yang lemah yakni hanya ditambah 73.000 pekerjaan nonfarm pada Juli, di bawah ekspektasi.
BACA JUGA:Trump Patok Tarif India Jadi 25 Persen Lebih Besar dari Indonesia, Main Dua Kaki
Revisi data bulan sebelumnya juga turun drastis. Hal ini memicu kegelisahan besar di pasar keuangan global.
Akibatnya, tercatat Dow Jones anjlok sekitar 1,2 persen ke level 43.588,58. S&P 500 turun 1,6 persen, dan Nasdaq Composite kehilangan lebih dari 2,2 persen.
Kemudian, Indeks Stoxx 600 Eropa merosot 1,9 persen atau merupakan penurunan mingguan terbesar sejak April.
Selanjutnya, MSCI Asia‑Pacific mencatat penurunan sekitar 2,2 persen dalam sepekan terakhir.
Bahkan saham perusahaan besar di AS seperti Amazon, Apple, Tesla, Nvidia, dan Meta ikut tertekan.
Indeks volatilitas CBOE (VIX) melesat ke level enam minggu tertinggi, sementara imbal hasil obligasi AS dan indeks dolar juga turun tajam
Di samping itu, ada thesis analis yang menyebutkan bahwa tarif drastis memicu ketidakpastian global, menghalangi rantai suplai, dan berpotensi memicu inflasi naik.
BACA JUGA:Daftar Hari Libur Agustus 2025 Bertambah, Senin 18 Agustus Resmi Jadi Libur Nasional!
Mata uang dolar menguat sementara investasi korektif dialihkan ke obligasi pemerintah.
Meski demikian, analis juga mencatat bahwa kenaikan tarif 15‑20 persen kini relatif lebih dapat dikelola ketimbang ancaman sebelumnya. Ini membuat reaksi pasar tidak separah penurunan di April lalu saat Trump pertama kali mengenakan tarif besar-besaran.
Langkah ini membuat negara seperti Swiss yang terkena tarif 39 persen “terkejut dan terpukul,” mengejar solusi negosiasi.