JAKARTA, DISWAY.ID - Proses seleksi pimpinan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode 2025–2030 memunculkan sorotan tajam, terutama setelah terungkapnya dominasi calon dari kalangan alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).
Dari delapan kandidat yang masih bertahan, tiga di antaranya merupakan lulusan kampus tersebut.
Mereka adalah M. Iman Nuri H. B. Pinuji (calon Ketua Dewan Komisioner LPS), Farid Azhar Nasution (calon Wakil Ketua Dewan Komisioner, alumni STAN 1992), dan Ferdinan Dwikoraja Purba (calon Anggota Dewan Komisioner, alumni Diploma Akuntansi STAN 1994).
Saat ini, seleksi calon Ketua dan Anggota Dewan Komisioner LPS telah memasuki tahap menunggu keputusan Presiden sebelum dilanjutkan ke uji kelayakan dan kepatutan di Komisi XI DPR.
BACA JUGA:Berhenti 3 Menit! Istana Minta Semua Warga Hentikan Aktivitas Saat Indonesia Raya Berkumandang
Nama-nama kandidat Ketua LPS antara lain Dwityapoetra Soeyasa Besar, M. Iman Nuri H. B. Pinuji, dan Purbaya Yudhi Sadewa.
Sementara kandidat Anggota Dewan Komisioner meliputi Agresius R. Kadiaman, Ferdinan Dwikoraja Purba, dan Teguh Supangkat.
Untuk posisi Wakil Ketua LPS, dua kandidat — Doddy Zulverdi dan Farid Azhar Nasution — telah menjalani fit and proper test, namun hingga kini hasilnya belum diumumkan ke publik.
Keberadaan tiga alumni STAN di bursa pimpinan LPS memicu spekulasi bahwa mereka berpeluang besar lolos, mengingat Ketua Komisi XI DPR Ahmad Misbakhun dan anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam juga berasal dari STAN.
BACA JUGA:SBY Balik ke Kampus IPB, Cerita Disertasi yang Jadi Arah Ekonomi Indonesia 10 Tahun
Potensi Risiko Tata Kelola
Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Siprianus Jewarut, mengingatkan bahwa dominasi satu kelompok alumni di lembaga keuangan berisiko mengganggu prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Menurutnya, fenomena “geng kampus” di institusi strategis kerap menjadi celah penyalahgunaan wewenang, apalagi jika lembaga tersebut mengelola dana publik.
"Presiden Prabowo tengah serius memberantas korupsi. Jika kelompok alumni menguasai satu lembaga, risikonya tinggi terhadap praktik korupsi berjamaah,” ujarnya.
Ia menegaskan, kejahatan di sektor keuangan sering kali tergolong white collar crime, di mana pelaku memanfaatkan jabatan untuk penipuan, manipulasi, atau pelanggaran kepercayaan demi keuntungan pribadi atau kelompok. “Mafia keuangan bahkan lebih lihai daripada mafia migas, tanah, atau pangan,” tambahnya.
BACA JUGA:Jajal BYD ATTO 1 dari Jogja, Solo, Semarang, City Car Listrik Tangguh di Jalur Antar Kota