Ia menyarankan solusi sederhana: seluruh gaji dan tunjangan pejabat digabung dalam satu pos, lalu dikenakan pajak sesuai tarif normal sebagaimana berlaku bagi pekerja swasta.
Sebagai informasi, tarif PPh Pasal 21 diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dengan ketentuan:
• Penghasilan sampai Rp60 juta: 5 persen
• Rp 60 juta – Rp 250 juta: 15 persen
• Rp 250 juta – Rp500 juta: 25 persen
• Rp 500 juta – Rp 5 miliar: 30 persen
• Di atas Rp 5 miliar: 35 persen
“Kalau mau memperbaiki penerimaan negara, mulai dulu dari kepalanya,” ujar Media.
BACA JUGA:Polri: 3.195 Orang Diamankan Terkait Aksi Unjuk Rasa, 55 Jadi Tersangka
Senada, Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, menilai saat ini momentum tepat untuk menghapus fasilitas pajak pejabat negara.
“Bukan hanya DPR, tapi juga menteri dan pejabat tinggi lain. PPh Pasal 21 mereka dibayar negara. Ini sudah kelewat besar tunjangan dan gajinya,” kata Bhima.
Menurut Bhima, kondisi ini anomali jika dibandingkan dengan negara lain. Ia mencontohkan di Selandia Baru, pendapatan anggota parlemen hanya sekitar dua kali rata-rata gaji masyarakat. Sementara di Indonesia, gaji dan tunjangan anggota DPR disebut 30 kali lipat dari rata-rata pendapatan masyarakat.
Di tengah sorotan publik soal kenaikan tunjangan perumahan DPR, isu pajak ini makin menambah kritik. Publik menilai privilege PPh 21 Ditanggung Pemerintah harus segera dievaluasi agar tercipta keadilan pajak.