PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai dijalankan pada awal tahun 2025 merupakan salah satu agenda besar pemerintahan Presiden Prabowo. Program ini menjadi sorotan publik, baik melalui pemberitaan media maupun diskusi masyarakat, dengan pro dan kontra yang mewarnai.
Di satu sisi, ada testimoni positif mengenai menu yang menarik dan disukai siswa. Namun, tidak sedikit pula kritik terkait kualitas menu, kebersihan, keamanan pangan, hingga kompetensi tenaga pelaksana yang terlibat.
Sebagai akademisi sekaligus praktisi di bidang gizi kesehatan, saya melihat ada sejumlah aspek fundamental yang harus dikawal bersama agar MBG benar-benar membawa manfaat optimal bagi kesehatan dan kecerdasan anak bangsa.
Keamanan Pangan
Kita bisa berkaca pada kasus keracunan makanan yang terjadi di Sukoharjo dan Nunukan Selatan pada minggu kedua implementasi MBG. Ini menjadi alarm serius tentang lemahnya penerapan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP).
HACCP sangat penting untuk mengidentifikasi titik kritis mulai dari penerimaan bahan baku, penyimpanan pada suhu yang tepat (<5°C untuk bahan segar dan menghindari zona bahaya 5–60°C), proses pengolahan, hingga distribusi makanan. Tanpa standar ini, risiko penyakit akibat pangan (foodborne disease) meningkat signifikan.
BACA JUGA:Kesehatan Gigi Masyarakat Indonesia: Antara Kebutuhan dan Ketersediaan Dokter Gigi
BACA JUGA:Kandang Sapi Closed House, Tingkatkan Produksi Susu untuk Mendukung MBG
Lebih jauh, MBG sejatinya adalah kegiatan penyelenggaraan makanan dalam skala besar. Karena itu, setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) seharusnya diwajibkan memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
SLHS adalah dokumen legal yang membuktikan bahwa suatu usaha pengolahan pangan telah memenuhi standar kebersihan dan kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Contoh pihak yang wajib memiliki SLHS adalah restoran, jasa boga, depot air minum, dan usaha pangan lain dengan tingkat risiko menengah hingga tinggi.
Petugas dapur MBG menyiapkan makanan untuk siswa. -Universitas Brawijaya-
Pengurusan SLHS menjadi ranah Dinas Kesehatan melalui Puskesmas setempat. Suatu lembaga penyelenggara makanan hanya bisa memperoleh SLHS apabila minimal 50% tenaga penjamah makanan (pemasak, pengolah, petugas dapur, hingga pengawas) telah memiliki sertifikat penjamah makanan. Proses ini sangat penting karena memastikan tenaga pelaksana memiliki pengetahuan yang memadai tentang penyelenggaraan makanan yang sehat, bersih, dan aman.
Pertanyaannya, apakah seluruh SPPG di lapangan sudah menjalankan tahapan untuk mendapatkan SLHS ini? Bila belum, siapa yang dapat menjamin bahwa tenaga penjamah benar-benar memahami penyelenggaraan makanan sehat dan higienis? Siapa yang memastikan bahwa air dan bahan makanan yang digunakan laik hygiene? Dan pada akhirnya, siapa yang dapat menjamin bahwa makanan yang dikonsumsi anak-anak kita sudah aman, sehat, serta memenuhi kebutuhan gizinya?
Pemenuhan Energi dan Zat Gizi
Salah satu tujuan utama MBG adalah meningkatkan kecukupan gizi anak sekolah. Dalam petunjuk teknis, ditetapkan bahwa satu porsi makan siang harus memenuhi 30–35 persen kebutuhan energi harian dan 33–36,4 persen kebutuhan protein siswa SD–SMA. Peran ahli gizi menjadi krusial dalam memastikan hal ini terpenuhi.