Namun, telaah Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan: hanya 17 persen menu (5 dari 29 menu) yang sesuai target energi. Sementara itu, 48 persen menu kelebihan protein, 34 persen kekurangan protein, dan 45 persen mengandung pangan ultra-proses seperti susu berperisa tinggi gula. Dengan keterbatasan anggaran, bahkan sering diberitakan hanya sekitar Rp7.500–10.000 per porsi, penyediaan makanan sehat seimbang menjadi sangat sulit.
BACA JUGA:Krisis Penyerapan Gula Petani: Antara Banjir Impor dan Lemahnya Tata Kelola
BACA JUGA:Kandang Ayam Berbasis AI Menjamin Keamanan Pangan
Jika MBG mengandalkan pangan ultra-proses atau minuman berpemanis, energi mungkin terpenuhi, tetapi kualitas gizinya rendah. Juga berisiko menyebabkan obesitas, sindrom metabolik, dan penurunan performa akademik anak.
Oleh karena itu, keberadaan ahli gizi dalam jumlah memadai untuk menelaah dan menyesuaikan menu sangat penting. Satu ahli gizi tidak mungkin mengawal ribuan siswa sekaligus dengan tanggung jawab penuh atas menu, pengolahan, keamanan, hingga edukasi.
Keragaman Pangan dan Pemberdayaan Lokal
Kritik lain yang muncul adalah kecenderungan menu MBG yang monoton serta masih banyak mengandalkan pangan ultra-proses seperti sosis, nugget, atau susu manis. Padahal, keragaman pangan adalah kunci pemenuhan gizi seimbang.
Contoh dari Brasil menunjukkan bahwa 75 persen anggaran makan gratis diwajibkan untuk pangan segar lokal. Sementara pangan ultra-proses hanya boleh muncul 1–2 kali per bulan. Indonesia pun dapat meniru langkah ini dengan melibatkan UMKM, petani, dan pasar tradisional sebagai pemasok pangan MBG. Hal ini akan meningkatkan keragaman pangan anak sekolah, menekan biaya distribusi, mendukung ekonomi lokal, serta membangun rasa memiliki masyarakat terhadap program.
Pelatihan soal keamanan pangan yang diadakan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Brawijaya. -Universitas Brawijaya-
Apabila pangan lokal terus diabaikan, risiko yang muncul adalah: meningkatnya ketergantungan pada pangan ultra-proses tinggi gula, garam, dan lemak. Selain itu, hilangnya kesempatan membentuk pola makan sehat sejak dini berbasis pangan Nusantara. MBG berpotensi hanya menjadi program distribusi makanan, bukan gerakan transformasi pangan nasional.
Pangan lokal dapat diolah menjadai berbagai olahan yang dapat diterima sesuai dengan pola makan masyarakat setempat. Misalnya olahan otak-otak menjadi sumber protein berbahan baku ikan dan juga mengandung cukup karbohidrat. Olahan sayur yang beragam seperti karedok, gado-gado dan olahan kombinasi lengkap seperti siomay juga menjadi pilihan-pilihan menarik yang dapat dijadikan alternatif olahan lokal untuk anak-anak.
Sinergi Lintas Sektor
Keberhasilan MBG menuntut sinergi lintas sektor. Dinas Kesehatan dan Puskesmas harus memastikan setiap SPPG memiliki SLHS. Bapanas dan Kementerian Pertanian dapat memperkuat penerapan pola beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA) berbasis pangan lokal.
Sementara itu, perguruan tinggi dapat berkontribusi dalam edukasi gizi pada anak sekolah, guru, dan orang tua. Kontribusi tersebut dapat dijadikan rangkaian kegiatan program pengabdian masyarakat untuk mendukung keberhasilan MBG sebagai wujud partisipasi mahasiswa dan dosen berdampak pada masyarakat .
Penutup
MBG adalah program besar dengan potensi manfaat luar biasa, tetapi juga mengandung risiko tinggi jika tata kelolanya lemah. Oleh karena itu, fokus pada keamanan pangan (HACCP dan SLHS), pemenuhan energi dan gizi seimbang, keragaman pangan lokal. Serta, sinergi lintas sektor merupakan kunci utama agar MBG benar-benar berdampak bagi peningkatan kesehatan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia. (*)