Meski kala itu Marsinah masih terbilang muda, ia adalah sosok yang kritis dan berani untuk memperjuangkan hak rekan-rekan kerjanya.
Pada 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar. Pihak manajemen PT CPS bernegosiasi dengan 15 orang perwakilan buruh, salah satunya Marsinah.
Dalam perundingan tersebut, seluruh tuntutan akhirnya dikabulkan, kecuali membubarkan SPSI di tingkat pabrik.
Namun, keesokan harinya pada 5 Mei 1993, sebanyak 13 buruh rekan-rekan Marsinah yang dianggap menghasut pekerja untuk melakukan aksi unjuk rasa, digiring ke Koramil Sidoarjo.
Mereka dipaksa untuk mengundurkan diri dari CPS dan dituduh menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja.
Berdasarkan laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), emosi Marsinah memuncak saat tahu rekannya dipaksa mengundurkan diri.
BACA JUGA:Bahlil Lahadalia Usulkan Seluruh Mantan Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional
Dia pun meminta salinan surat pengunduran diri dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS.
Pasalnya, dalam surat kesepakatan itu, 12 tuntutan buruh diterima termasuk poin tentang pengusaha yang dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK karyawan setelah aksi mogok kerja.
Marsinah juga sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelum dipanggil pihak Kodim.
Setelah itu, tidak ada lagi rekan kerja dan keluarga yang mengetahui keberadaan Marsinah.
Beberapa hari kemudian, Marsinah ditemukan di sebuah gubuh di hutan Wilangan, Nganjuk.
BACA JUGA:Bahlil: Soeharto Pantas Jadi Pahlawan Nasional, Pernah Jadikan Indonesia Macan Asia
Ia ditemukan tewas dengan tubuh penuh luka memar, patah tulang, bekas penyiksaan, dan kekejian lainnya.
Hingga saat ini, pelaku sebenarnya dari kasus Marsinah pun tidak pernah diadili.