Ia menegaskan, negara kepulauan membutuhkan sistem rujukan terintegrasi, bukan sekadar pembangunan rumah sakit baru.
Salah satu solusi yang dianggap efektif adalah pemanfaatan telemedicine.
“Dengan jaringan yang baik antara kader posyandu dan tenaga kesehatan, kita bisa lihat kondisi anak lewat video call, misalnya napas sesak dan harus dirujuk. Itu lebih penting daripada hanya bangun RS tiga lantai,” katanya.
BACA JUGA:BGN Luncurkan Kampanye Nasional “Makan Bergizi Hak Anak Indonesia”
Posyandu Harus Diaktifkan Kembali
Kader posyandu disebut masih kewalahan menjalankan fungsi preventif dan edukatif.
Karena itu, penguatan lintas sektor dibutuhkan, termasuk peran pemerintah daerah dan partisipasi orang tua.
Pencatatan tumbuh kembang anak melalui buku KIA (buku pink) juga harus dijalankan secara disiplin, mulai dari pemantauan berat badan, status gizi, hingga pemberian obat cacing.
“Posyandu harus dihidupkan lagi dan dipastikan bisa memenuhi kebutuhan warga, agar tidak ada kesenjangan layanan kesehatan antara kota dan daerah.”
Pada akhirnya, edukasi bukan hanya ditujukan kepada kader kesehatan, tetapi juga kepada orang tua agar lebih memahami kebutuhan tumbuh kembang anak.
“Ini tugas bersama. Sistem kesehatan harus kuat, tetapi orang tua juga harus sadar bahwa tumbuh kembang tidak bisa diserahkan pada gadget,” pungkasnya.