Rasa takut itu bahkan mendorong anak bungsunya menjadi sangat rajin salat, sebuah bentuk pertolongan spiritual yang dicari anak-anak di usia dini.
"Sebelumnya cuma 5 kali sehari kan, sekarang jam 10.00 itu 'salat lagi ya Bu'," ungkap Wilda.
Bahkan, trauma itu menjelma menjadi keluhan fisik pada anak sulungnya. "Kalau yang tua (anak sulung) itu kalau dah hujan katanya sesak dadanya," kata Wilda.
BACA JUGA:Palmeera Lounge Soetta: Layanan Halal Bersertifikat untuk Kenyamanan Jamaah Haji-Umrah
Wilda bersikeras membawa mereka ke sesi trauma healing. Ia berharap di tempat itu, anak-anaknya dapat belajar mekanisme koping untuk mengatasi ketakutan yang mencekik itu.
Latar belakang traumatis yang dialami keluarga Wilda memang sangat berat. Bencana galodo pada Kamis, 27 November 2025 sore itu tak hanya merusak rumah keluarganya, tetapi juga merenggut nyawa paman Wilda dan hingga kini, istri pamannya masih belum ditemukan.
Kedekatan mereka dengan pusat bencana membuat dampak psikis yang dialami anak-anak sangat mendalam, dan sulit dipulihkan hanya dengan bujukan orang tua.
Kehadiran Tim Trauma Healing bukan sekadar permainan, melainkan upaya pendekatan psikologis yang mendalam.
BACA JUGA:Fakta Lapangan, Mobil MBG Sempat Berhenti Depan Gerbang SDN Kalibaru 01 Sebelum Tabrak Siswa
Para konselor mencoba membaca kondisi psikis anak-anak pasca bencana, mengajarkan mereka teknik dasar untuk mengelola kecemasan, dan meyakinkan mereka bahwa sekolah adalah tempat yang aman, terlepas dari cuaca di luar.
Dengan penuh harap, Wilda memandangi anak-anaknya yang berinteraksi dalam sesi terapi.
Doa agar hujan berhenti mungkin terlalu besar untuk dikabulkan, namun Wilda berharap, lewat pendampingan ini, rasa trauma itu akan sedikit demi sedikit terangkat, sehingga mereka bisa kembali memandang rintik hujan sebagai berkah, bukan lagi sebagai pertanda petaka.