Padi Sahdiamin yang hampir panen ikut rusak, hancur diterjang lumpur. Yang tersisa hanya beberapa batang yang masih berdiri, tak sebanding dengan usaha bertahun-tahun. “Sayang sekali, nak. Tapi mau bagaimana lagi…”
Malam hari, ketika suara hujan menemani sunyi malam, terdengar suara ketukan, datanglah rombongan kecil relawan membawa makanan. Sebuah mangkuk bubur kacang hijau menjadi tanda bahwa mereka belum benar-benar sendirian.
“Memang aku menerima itu. Kubilang terima kasih… tapi menangis aku menerimanya, nak. Sedih perasaan aku.”
Di malam lain, hampir pukul setengah 10, pintu rumahnya kembali diketuk. “Assalamualaikum, Bu… ada makanan.” Suara itu sederhana, namun bagi Sahdiamin, itu seperti Tuhan mengirimkan pengingat bahwa hidup masih layak dipertahankan.
BACA JUGA:Ayu Puspita Wedding Organizer Gunakan Uang Hasil Tipunya ke Luar Negeri dan Bayar Cicilan
BACA JUGA:Menteri Agus Gumiwang Tekankan Peran Layanan Teknis untuk Perkuat Daya Saing Industri Nasional
Ketika mobil tangki air bersih 6000 liter akhirnya tiba di daerah mereka, wajah Sahdiamin tampak sedikit lega. Ia tak lagi harus menunggu hujan untuk mandi. Tidak lagi menadah air keruh yang seperti lumpur. Tidak lagi mengantre berjam-jam di mata air gunung yang juga terancam longsor.
“Bersyukur sebanyak-banyak sama Tuhan, tenaga anak-anak mengasihkan (membawa) air itu ke sini. Aku sudah tidak bisa mengangkat air dari sana, walaupun ada, tidak bisa menjunjung (mengangkat) kita,”
Air itu kembali membawa hidup: untuk memasak, mencuci, mandi, dan sekadar meredakan rasa takut yang selama ini tak terlihat.
Namun di balik syukurnya, ada doa yang berulang ia bisikkan pelan, namun penuh harap:
“Manalah yang terbaik, itulah yang kita minta sama Tuhan. Yang terbaiklah yang dikasih. Jangan lagi kalau boleh permintaan kami sama Tuhan, jangan lagi (bencana), cukuplah penderitaan ini,” tutup Sahdiamin sambil berdoa.