Sebagai porter, Mustaqim tak memiliki target pendapatan harian. Penghasilannya murni bergantung pada jumlah penumpang yang meminta jasa.
BACA JUGA:Porter Pasar Tanah Abang Cuan Jelang Nataru, Sehari Bisa Kantongi Rp350 Ribu
"Kalau lagi rame dan banyak yang nyuruh, ya dapat. Kalau sepi, ya sepi juga," tuturnya disertai hisapan rokok.
Dii momen Nataru ini, ratusan ribu rupiah dalam sehari bukan hal yang mustahil untuk didapat. Ia enggan membeberkan penghasilannya, namun cukup untuk keperluan sehari-hari.
Bekerja sebagai porter menjadi pilihan yang ia syukuri. Dulu, Mustaqim sempat bekerja sebagai kuli bangunan.
Dibandingkan pekerjaan lamanya, menjadi porter terasa lebih layak.
"Daripada di bangunan, di kuli-kuli bangunan kayak gitu, harian kan mending di sini yang kita bersih. Kita cuma di sini kan juga jaga kebersihan, keamanan, melayani penumpang," kata pria asal Kebumen, Jawa Tengah itu.
Meski setiap hari menyaksikan penumpang pulang ke kampung halaman, Mustaqim tak selalu tergoda untuk ikut mudik.
Pada momen Nataru ini, ia memilih tetap bekerja. Namun suasana berbeda ia rasakan ketika momen mudik Lebaran tiba.
"(Kalau musim mudik Lebaran) ya benar-benar, ingat keluarga gitu. Ngenesh. Ingat istri dan anak di kampung," ucapnya pelan.
Anaknya yang masih kecil belum banyak bertanya soal kepulangan. Namun rindu itu tetap ada.
BACA JUGA:Ngeri! Detik-detik Penembakan Pengacara di Tanah Abang: Pelaku Arahkan Pistol ke Korban
Meski begitu, Mustaqim memilih bertahan di Jakarta, seperti Nataru tahun-tahun sebelumnya.
"Nataru selalu di sini," ujar pria yang mengenakan seragam berwarna biru itu.
Di balik kesibukan stasiun dan lalu-lalang penumpang, Mustaqim dan porter lainnya menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan banyak orang.
Di antara roda koper yang terus berputar, ada cerita tentang kerja keras, keikhlasan, dan harapan yang terus berjalan seiring laju kereta.