Kamal sekarang membayar Rp300 ribu per bulan untuk internet di rumahnya. Kalau Internet Rakyat benar-benar ada dan hanya Rp100 ribu, dia bisa hemat Rp200 ribu.
Uang segitu lumayan untuk menambah uang jajan anak atau beli beras. Tapi karena belum jelas jalurnya, Kamal memilih bertahan dengan yang lama. Baginya, mending mahal tapi pasti, daripada murah tapi gaib.
Dilema ini juga merembet ke kalangan mahasiswa. Indra (20), mahasiswa yang sehari-hari berkutat dengan tugas kuliah daring, mengaku belum merasakan dampak apa pun.
Di kampusnya pun, belum ada teman-temannya yang bercerita soal layanan ini. "Konsepnya bagus, tapi di level mahasiswa, kami belum merasakan apa-apa," ujarnya pendek.
Bagi mahasiswa seperti Indra, internet bukan sekadar gaya hidup. Itu alat produksi. Tanpa internet kencang, referensi sulit dicari, tugas gagal terkirim.
Harapan Indra sederhana: pemerintah jangan cuma bikin konsep yang bagus di televisi, tapi pastikan barangnya sampai ke tangan mahasiswa.
Kisah Kabel yang Baru Melintas
Pindah dari hiruk-pikuk Jakarta ke Jawa Timur. Di sana, aromanya sedikit berbeda. Program ini mulai menunjukkan jejak fisiknya, meski belum bisa dinikmati sepenuhnya.
Di SDN Candiharjo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, kabel-kabel hitam terlihat mulai terpasang. Melintas di lingkungan sekolah. Abah Kholili—begitu sapaan akrab Kholili Baihaqi, Kepala Sekolah di sana—memperhatikan betul aktivitas itu.
"Internet rakyat itu sambungan kabelnya baru masuk di sini kayaknya saya lihat. Kabelnya baru dipasang apa diperbaiki gitu," tuturnya melalui sambungan WhatsApp.
Selama ini, SDN Candiharjo berjuang dengan apa yang ada. Mereka menggunakan sistem "Wifi Tembak" dari penyedia swasta. Hasilnya? Kadang lancar, lebih sering kembang-kempis.
Apalagi saat musim UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) tiba, ketegangan guru bukan cuma soal soal ujian, tapi soal apakah sinyal akan tetap stabil sampai siswa selesai menjawab.
Kholili sangat antusias mendengar Internet Rakyat ini. Dia sudah berencana akan langsung daftar begitu kerannya dibuka. Harapannya satu: aksesnya mudah, syaratnya tidak berbelit-belit, dan yang paling penting—murah.
Namun, di SMPN 3 Sumberjambe, Jember, ceritanya lebih sunyi. Kabel-kabel itu bahkan belum tampak bayangannya.
Kukuh Prasetyo, sang Kepala Sekolah, menghela napas. Sekolahnya berada di desa yang sinyalnya sering malu-malu kucing. Kadang ada, seringnya hilang total. "Internet Rakyat belum masuk. Sekolah ini posisinya di desa. Koneksi juga belum sepenuhnya stabil," kata Kukuh.
Bagi sekolah di pelosok seperti di Sumberjambe, internet murah adalah mimpi besar. Tapi tanpa infrastruktur yang merata, Internet Rakyat hanya akan jadi milik orang kota. Kebijakan ini harus benar-benar menyentuh desa, jika tidak ingin jurang digital antara kota dan desa semakin dalam.