Bagi Hasil

Bagi Hasil

BUDI Irawanto mungkin membayangkan bisa seperti pamannya: Setyo Hartono, wakil bupati Bojonegoro sebelum dirinya.

Adik bapaknya itu bisa menjadi wakil bupati selama 10 tahun. Tanpa ada gesekan apa pun dengan Bupati Suyoto. Mereka berpasangan rukun sejak Bojonegoro masih menjadi 10 kabupaten termiskin di Jatim.

Setyo Hartono memang bukan dari partai: Letkol TNI AD, purnawirawan. Suyoto sipil. Kini Hartono menjadi Dirut Perusda Bojonegoro.

Saya pun menghubungi Suyoto: mengapa bisa rukun sampai 10 tahun. Ternyata Suyoto mengaku selalu melibatkan wakilnya itu.

"Semua surat masuk saya disposisikan ke dua orang, Wabub dan Sekda," ujar Suyoto. Waktu itu Suyoto dari PAN. Sekarang ia salah satu ketua DPP Nasdem.

Kalau ada acara yang tidak bisa ia hadiri, Suyoto selalu disposisi ke wakilnya: untuk mewakili atau mewakilkan. Maksudnya: kalau wabub sendiri repot bisa mewakilkan ke pejabat yang lain –atas perintah wabub.

Wawan tidak menyangka ketika giliran dirinya yang jadi wabup tidak menemukan yang dialami pamannya.

Wawan tidak bisa lagi saya hubungi, kemarin. Demikian juga bupati Dr Anna Mu'awanah. Dia tidak menjawab telepon saya. Tapi umumnya masyarakat Bojonegoro sudah tahu: pertengkaran bupati dan wakilnya itu sulit didamaikan. Terutama juga akibat kemarahan putri Wawan. Yang juga membuat pengaduan sendiri ke polisi. Terpisah dari pengaduan Wawan. Dalam postingan bupati di WA Group itu, nama sang putri memang dibawa-bawa. Itu dia anggap sang bupati telah mencemarkan nama baiknyi.

Pasangan Bupati/Wakil Bupati Bojonegoro ini sebenarnya memang bernasib baik. Begitu mulai menjabat, produksi minyak blok Cepu mencapai puncaknya.

Hebatnya lagi Peraturan Menteri ESDM menguntungkan Bojonegoro. Yakni peraturan tentang bagi hasil minyak untuk daerah.

Menurut peraturan itu, daerah yang mendapat bagi hasil adalah daerah yang ketempatan sumur minyak.

Di blok Cepu itu, sumur minyaknya ada di satu kecamatan di Bojonegoro. Yakni kecamatan paling dekat dengan Cepu. Akibatnya Kabupaten Blora tidak dapat bagian sama sekali. Padahal lapangan minyak blok Cepu itu ada di bawah tanah Bojonegoro dan Blora. Sumurnya saja yang di Bojonegoro. Cepu adalah satu kecamatan di Kabupaten Blora.

Bupati Blora kini lagi berjuang agar peraturan menteri tersebut diubah. APBD Bojonegoro bisa sebesar Rp 7,5 triliun terutama karena bagi hasil itu.

Blok minyak Cepu memang sangat menguntungkan. Sumur minyaknya tidak dalam. Tekanan minyaknya masih kuat. Kandungan air di dalam minyaknya juga sangat kecil.

Menurut seorang praktisi perminyakan, biaya untuk mengambil minyak di blok Cepu itu hanya sekitar USD 2/barel. Sedang biaya di blok Rokan, Riau, misalnya, sudah sekitar USD 20.

Sumur minyak di blok Cepu memang masih perawan. Sedang di Rokan sudah janda tiga kali.

Dengan harga minyak sekitar USD 70/barel sekarang ini, keuntungan minyak dari blok Cepu memang luar biasa. Ibaratnya, Bupati Anna dan Wabub Wawan benar-benar bisa mandi minyak.

Belum lagi dari saham daerah. UU Migas memang mewajibkan daerah memiliki saham 10 persen di blok setempat. Untuk blok Cepu, Bojonegoro mendapat 5 persen, Blora 5 persen.

Tentu, dua kabupaten itu tidak punya uang untuk setoran modal 5 persen tersebut.

Bojonegoro memilih mengajak swasta untuk sama-sama memegang saham 5 persen itu. Setoran modalnya dibayar oleh swasta. Bojonegoro mendapat bagian keuntungan 25 persen. Partner swastanya 75 persen.

Waktu Suyoto terpilih menjadi bupati 12 tahun lalu ia minta perjanjian awalnya diubah. Ia melihat Bojonegoro harus bisa mendapat hasil lebih baik.

Suyoto tahu, banyak pihak mempersoalkan isi perjanjian yang dibuat bupati sebelumnya. Untuk itu Suyoto melihatkan KJPP –agar ada pihak ketiga yang memberikan penilaian fair-tidaknya perjanjian yang diperbarui itu.

KJPP adalah Kantor Jasa Penilai Publik. Itu mirip akuntan publik di bidang penilai. KJPP adalah swasta, tapi harus punya izin dari kementerian keuangan.

Suyoto menyarankan para pejabat yang menetapkan tarip atau membuat perjanjian sebaiknya melibatkan KJPP. Agar selamat. Agar tidak tersangkut masalah hukum.

"Awalnya saya ingin membentuk tim ahli. Agar tim ahlilah yang menilai," ujarnya.

Ternyata posisi hukum tim ahli itu lemah. "Tim ahli bisa dibubarkan oleh pejabat yang menggantikan kita," ujar Suyoto. "Posisi hukum KJPP sangat kuat," tambahnya.

Salah satu perbaikan perjanjian yang dilakukan Suyoto adalah: selama belum menghasilkan partner harus membayar Pemda USD 50.000/tahun.

Blora memilih tidak berpartner. Blora memilih mencari pinjaman ke pemilik uang. Dibayar dari hasil minyak. Setelah lunas, 5 persen itu sepenuhnya milik Blora.

Tiga tahun lagi sudah akan bisa diketahui pola mana yang lebih menguntungkan daerah.

Yang jelas, di Blora, hubungan bupati dan wakilnya rukun-rukun saja. Entah kelak, kalau perjuangan mendapat bagi hasil itu bisa sukses. (Dahlan Iskan)

---

Komentar Pilihan Harian Disway: Tanpa Madu

Darko
Saya baru tahu kalau sudah jadi bupati dan wakil bupati itu, saya kira komunikasinya sudah pakai ilmu tingkat dewa, ...nggak tahunya sama saja dengan orang kampung saya yang rata2 petani yang pendidikan nya paling tinggi SLTA....

Leong Putu
Saya hubungi seorang teman yg sudah 20 tahun kerja di pengadilan Tinggi Surabaya. Saya tanya tentang kasus ini. Jawabnya : kalau barang bukti hanya berupa screen Shot WA tsb. Tidak akan bisa dikategorikan pencemaran nama baik. beda kalau bunyinya : Saya kotori nama baik anda dengan tahi dan kencing. ini baru barang bukti yang kuat. katanya dengan berapi api..... Mendengar jawaban teman saya itu, dalam hati saya berkata : walau sudah 20 tahun kerja di sana, tetap saja tidak ngerti hukum. dasar Tukang Parkir...... gerrrrr Jangan lupa bahagia Salam

Iif Turifah
Tingkah para pejabat kadang juga lucu jadi hiburan tersendiri,. Ibarat kita pny teman&tetangga suami&istri hampir tiap hari gaduh, Nyaring suara banting²an perabot isi rumah hingga bnyk tetangga yng membiarkan saja toh itu urusan dalam negri mereka. Tinggal kabari saja orang tuanya  pasutri itu apa mertuanya mereka mau bertindak.??  Selamat siang pak Mirza.

Mirza Mirwan
Terlepas dari soal pelaporan Anna oleh Wawan ke polisi, sepintas kelihatannya Anna ingin memonopoli kekuasaan. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah dijelaskan apa tugas dan wewenang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kalau Anna menganggap Wawan seperti "tidak ada" berarti negasi terhadap UU Pemerintahan Daerah. Dari sudut etika pemerintahan juga sangat tidak elok. Seharusnya Anna sadar, tanpa Wawan ia tak bisa melenggang ke kursi bupati. Waktu pilbup ia hanya didukung PKB (10 kursi), PDIP (5 kursi) dan PKPI (1 kursi) dari 50 kursi DPRD. Padahal ada 4 pasang cabup/cawabup. Tanpa suara dari pemilih PDIP, mustahil Anna mendapatkan kursi bupati. Demi rakyat Bojonegoro, alangkah baiknya kalau Wawan mencabut laporannya dengan catatan Anna menganggapnya sebagai wakil dan diberikan tugas seperti yg diamanatkan UU. Tetapi bila Anna dan Wawan sama-sama ngotot dengan pendirian masing-masing, apakah tidak malu pada rakyat, terutama yg tidak memilih mereka? Perseteruan Anna-Wawan itu sudah berlangsung beberapa bulan, tetapi kok nggak pernah baca berita upaya gubernur Jatim untuk mendamaikannya.

Ifan Reader
Anak alay dah bbrapa hari gk komen,mngkin lgi sibuk mendamaikan pasangan yg lgi kisruh.

Endi R
( tebakan saya : disway besok akan menulis soal ini )...saya jawab : saya tidak tahu karna saya bukan Pak Dahlan Iskan.

Sadewa
Bagaimana mungkin akan ada bulan madu yg Indah kalau kedua pasangan di "jodohkan" oleh kepentingan politik. Mungkin UU PILKADA perlu direvisi agar kedepan yg dipilih rakyat dalam pilkada cukup kepala daerah saja, sedangkan wakilnya diserahkan kepada kepala daerah terpilih untuk menunjuk sendiri agar konflik seperti ini tidak terjadi. Kasian Rakyat jadi korban.

 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Komentar: 149