Mempertahankan Pesan Mbah Balun

Mempertahankan Pesan Mbah Balun

Desa Balun, Lamongan, terkenal dengan kultur toleransi warganya. Masyarakatnya hidup rukun dengan tiga agama berbeda. Salah satunya dijaga oleh keberadaan Pesantren Al-Jamhar.

Jalan menuju Desa Balun, Kecamatan Turi, Lamongan, tak semulus toleransi yang terjaga kuat selama puluhan tahun. Salah satu akses yang kerap dipakai adalah jalan kecil yang mengarah ke Utara, di samping RS Muhammadiyah.

Gereja di Balun. Berada tepat di depan Masjid Balun. Berdiri bersama Pura Balun yang berdekatan. Ketiga rumah ibadah itu mampu membuat warganya rukun meskipun berbeda agama. (Guruh Dimas Nugraha/Harian Disway)

Sekitar satu kilometer, sudah terlihat gapura merah bertuliskan ”Desa Pancasila”. Sesuai sebutan yang diberikan oleh masyarakat kepada Desa Balun. Sebab, desa itu menjadi salah satu role model pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Warganya hidup rukun dalam tiga agama: Islam, Hindu dan Nasrani.

Banyak peneliti dari kalangan akademisi, pemerhati budaya, kelompok-kelompok kebhinekaan, pejabat hingga para pembuat konten yang datang ke Balun. Bicara tentang toleransi, sejarah, mengulas tentang tiga rumah ibadah yang berdiri berdampingan, atau keunikan masyarakatnya.

Hal-hal itu rasanya telah sangat umum ketika membahas soal Desa Pancasila. Tapi tak banyak orang tahu bahwa di Balun berdiri sebuah pesantren yang turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan masyarakat, serta membumikan nilai-nilai Islam yang ramah dan damai pada tiap santrinya.

Pondok Pesantren Al-Jamhar, namanya. Letaknya di bagian Barat Desa Balun. ”Silakan tunggu di kantor saja bersama saya. Pak Kiai baru saja selesai berkegiatan. Nanti beliau menyusul,” ujar Supri Abdul Hamid, salah satu pengurus pondok dan kepala Diniyah.

Kantor Pesantren Al-Jamhar terletak di sudut Selatan, di belakang ruang bermain siswa Raudathul Athfal. Supri merupakan salah satu santri pertama sejak pesantren tersebut didirikan pada 1999. Ia murid langsung dari pendirinya, Kiai Abdul Goni.

”Dulu almarhum abah Goni memberi pelajaran mengaji bagi masyarakat muslim Balun. Awalnya yang ikut 10 orang saja. Kemudian berkembang secara bertahap sampai seperti ini,” ujar pria 37 tahun itu.

Untuk membujuk masyarakat agar mau mengaji, dulu Kiai Goni kerap memberi hidangan semangkuk bakso kepada siapa saja yang mau ikut. Berawal dari ajakan tersebut serta metode pengajaran yang damai, banyak warga Muslim yang tertarik.

”Semakin religius seseorang, semakin kuat pula rasa toleransinya. Itu yang ditekankan Abah sejak dulu. Maka santri-santrinya dapat bergaul dalam kehidupan masyarakat, meski berbeda keyakinan,” ujarnya.

Lebih lanjut, penyampaian Islam yang ramah mampu memperkuat ikatan persahabatan sesama warga Balun. ”Di Balun sini tidak ada ceritanya orang berbeda agama lantas tidak berteman. Malah justru akur,” ungkapnya.

Bahkan ekstrakurikuler pencak silat yang ada dalam pesantren tersebut memiliki guru yang beragama Nasrani. ”Beliau juga dihormati oleh kami dan para santri. Malah setelah mengajar, kami selalu jagongan bareng. Tak ada sekat apa pun,” tuturnya.

Tak lama berselang, datanglah pria bersarung, berkopiah. Ialah Muhammad Ikhsan, kepala pondok pesantren. Dengan ramah ia meminta maaf karena hadir belakangan. Selanjutnya ia mulai menjelaskan seluk-beluk pesantren Al-Jamhar dan kontribusinya terhadap kehidupan bermasyarakat.

”Islam menekankan keteladanan Rasulullah. Beliau hidup berdampingan bersama Yahudi dan Nasrani. Jika kita mendaku sebagai umatnya, maka harus ikut menjaga kerukunan di dalam masyarakat,” ungkapnya.

Lakum dinukum waliyadin. Bersahabat dengan siapa saja adalah kewajiban. Tapi tentu setiap pemeluk agama memiliki relnya. “Tentu rel peribadatan masing-masing. Di luar itu ya seduluran,” ujar alumnus Pesantren Darussalam, Kudus itu.

Setiap kegiatan masyarakat, baik kegiatan desa maupun acara-acara lain, sering kali santri dilibatkan. Menjadi petugas keamanan atau mengatur lalu-lalang kendaraan.

Begitu pun saat pesantren mengadakan acara wisuda atau akhirussanah. ”Pemuda Hindu dan pemuda Kristen turut hadir. Kadang turut mengamankan, lalu makan bersama kami. Begitu juga warga Balun lainnya,” ungkap Supri.

”Islam itu mengajarkan bahwa pada hewan saja kita harus memiliki welas asih. Apalagi dengan manusia,” terang Ikhsan. Paham yang mereka genggam dan ajarkan adalah ahlussunah. Menekankan akhlakul karimah, sehingga mereka lebih fleksibel di tengah masyarakat.

”Cenderung mengutamakan keindahan dalam kehidupan sosial. Jadi para pewaris ahlussunah, utamanya santri kami, harus siap terjun dalam kemajemukan masyarakat,” tambahnya.

Sebagai tokoh agama Islam, Ikhsan menjalin hubungan baik dengan para tokoh agama lainnya di Desa Balun. Mereka kerap berdiskusi dan meredam setiap potensi konflik. ”Kalau misalnya terjadi konflik, sekecil apa pun harus diredam. Semua tokoh agama harus terjun langsung,” terangnya.

Acara tahunan yang diselenggarakan bersama warga desa adalah Haul Balun. Biasanya diadakan di lapangan desa yang terletak di depan tiga rumah ibadah. Di sebelah utara, terdapat makam sesepuh Desa Balun, yakni Mbah Balun.

Warga setempat percaya bahwa sebelum Lurah Balun bernama Martin Bati menggagas berdirinya tiga rumah ibadah tersebut, Mbah Balun telah meletakkan dasar kerukunan tiga agama di Desa Pancasila. ”Setiap haul, semua tokoh agama memberikan sambutan. Itulah momen ketika semua warga desa tumpek blek di alun-alun (lapangan, Red),” ungkapnya.

Sudut pemandangan pura di Desa Balun yang berada di belakang masjid. Pura ini menjadi salah satu tiga rumah ibadah yang berdiri berdampingan di Desa Pancasila. (Guruh Dimas Nugraha/Harian Disway)

Di Pesantren Al-Jamhar, ada seorang santri kecil yang tiap sore rutin mengaji. Ia selalu diantar oleh neneknya karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Sang nenek beragama Hindu.

”Kalau kemari, beliau mengenakan jilbab untuk menghormati. Dia juga tidak memaksa cucunya untuk masuk dalam keyakinannya. Kami juga tidak memaksanya untuk masuk keyakinan kami. Semua terjadi begitu saja,” ujarnya.

Namun anak-anak sang nenek yang semua Muslim pernah menawatkan ibunya untuk menganut Islam. Tapi dia menolak. Katanya dia ingin tetap Hindu, karena almarhum suaminya juga Hindu.

”Bila dia pindah agama, khawatir suaminya sendirian. Tidak masalah. Karena masuk ke Islam atau agama apa pun, pada dasarnya adalah kesadaran, bukan paksaan,” ujarnya.

Hingga kini Pesantren Al-Jamhar berdiri megah di sudut barat Desa Balun. Turut menjaga semangat toleransi yang terawat sekian puluh tahun. (Guruh Dimas)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Komentar: 0