Sentilan Gareng dan Petruk

Sentilan Gareng dan Petruk

Obrolan rakyat kecil sering kali mengungkap permasalahan masyarakat. Mulai dari keluhan terhadap kebijakan maupun kesulitan-kesulitan hidup. Kris Mariyono menuangkannya dalam dialog Gareng dan Petruk.

Fenomena kehidupan tak lepas dari berbagai dinamika, diantaranya suka dan duka. Realitasnya, kondisi suka dan duka tak jarang menjadi sorotan dan bahan pembicaraan di kalangan masyarakat. Baik mereka yang terdampak kebijakan maupun terkena imbas dari tindakan serta perilaku individu.

Pada masa lalu, persoalan masyarakat sering disuarakan lewat berbagai pertunjukan seni budaya. Salah satu di antaranya adalah wayang kulit. “Di dalam wayang terdapat banyak tokoh. Mulai dari kalangan bangsawan hingga rakyat kecil. Punakawan, misalnya, merupakan tokoh yang merepresentasikan rakyat,” ujar Kris.

Wayang Jawa memang menarik. Kesenian tersebut menghadirkan tokoh Punakawan sebagai kaum jelata yang didaulat sebagai pamomong para ksatria. Di samping humor-humornya yang mengundang tawa, Punakawan sering hadir memberikan nasihat, bahkan kritik terhadap kebijakan pihak berwenang.

Sebetulnya, Punakawan ada empat tokoh, yakni: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Bapaknya bernama Semar. Anak mbarep atau anak pertama bernama Gareng. Anak kedua bernama Petruk, dan anak ketiga namanya Bagong.

Para Punakawan tinggal di Negara Karangkadempel. Semar sejatinya merupakan dewa kahyangan tapi ia diturunkan ke Marcapada dan tinggal bersama rakyat jelata.

Selain sebagai pembela wong cilik, dan abdi para ksatria, Punakawan sangat jujur. Masing-masing memiliki kedigdayaan, namun tak sembarangan dalam mempertontonkannya. Cenderung berlaku sederhana dan apa adanya.

Kris mengumpulkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masyarakat berkat pergaulannya yang luas. Ia sering berkumpul dan berkawan dengan semua orang dari berbagai lapisan. Semua keluhan itu ditampung dan disuarakannya lewat karya sastra.

Agar sentilan lebih mengena, dan pembacanya dapat dengan mudah memahami persoalan kehidupan, ia mengemas tulisannya dengan ringan. Serupa cerpen dengan olahan peristiwa berbasis dialog dua tokoh Punakawan yakni Gareng dan Petruk.

Sejak dua tahun lalu, Kris mulai berkarya dan mengunggah satu per satu karyanya dalam laman web Apresiasi Pendidikan dan Sosial (Apenso). Kisah yang sederhana dan penuh humor memancing pembaca dari berbagai daerah.

”Ragam persoalan coba saya ungkapkan melalui percakapan jenaka antara Gareng dan Petruk tersebut,” ujar pria kelahiran Malang, 16 Juli 1959 itu. Misalnya tentang persoalan banjir di berbagai daerah. Kris menampilkan adegan rumah Petruk yang terletak di jantung ibu kota Negeri Karangkadempel Merdeka kebanjiran.

Kakaknya, Gareng, datang menjenguk lalu terpeleset. Keduanya bersungut-sungut. Mereka mengeluhkan manusia yang kurang menaruh perhatian pada lingkungan, serta pemerintah Karangkadempel yang tak berusaha mengatasi persoalan dari hulu ke hilir.

Gareng dan Petruk mendengar kabar bahwa bencana yang terjadi disebabkan oleh banjir kiriman. Keduanya membenarkan hal tersebut, lalu mengambil kesimpulan: banjir kiriman merupakan banjir yang dikirim oleh penguasa jagat raya yang tak rela tatanan alamnya dirusak sedemikian rupa oleh manusia.

Sekaligus sebagai peringatan keras tentang keteledoran dalam membangun lingkungan. Karena ringan tapi menohok itulah tulisan-tulisan Kris banyak digemari.

”Kawan-kawan banyak yang menganjurkan agar diabadikan menjadi buku. Saya setuju. Bekerja sama dengan penerbit Meja Tamu, terbitlah buku berjudul Digaruk,” ujar mantan reporter RRI Surabaya itu.

Digaruk adalah singkatan dari dialog Gareng dan Petruk Membahas persoalan dan keinginan agar rakyat dapat hidup makmur gemah ripah loh jinawi. Menyentil pemerintah Karangkadempel agar selalu adil. ”Gareng dan Petruk berharap jangan sampai rakyat dan negaranya terusik oleh perbuatan jahat,” pungkasnya. (Guruh Dimas)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Komentar: 0