Yasin Pakai Kunci Publikasi Ilmiah Internasional
Dunia pendidikan Indonesia sejatinya punya prestasi di kancah internasional. Itu terbukti baru-baru ini. Dua cendekiawan, Prof Moh. Yasin dari Universitas Airlangga (Unair) dan Prof Riyanarto Sarno dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) masuk nominasi 2 persen peneliti berpengaruh dalam peringkat yang dirilis Stanford University.
RUANG kerja Prof Moh. Yasin cukup berantakan. Berkas-berkas berserakan di meja tamu. Meja kerjanya juga tidak rapi jali. Ada dua laptop di meja berukuran 1,5 x 0,5 meter itu. Setumpuk berkas penelitian teronggok di sana.
Yasin segera membereskan meja kerjanya. Lembaran yang berserakan itu segera dipindah ke meja lain yang berada di sebelah kanan meja kerja tersebut. Kemudian ia bergegas mengambil sebuah monitor yang ada di lemari.
”Sebentar saya ambilkan monitor lagi. Biar enak saya menerangkannya,” ujar dekan fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga (Unair) itu.
Setelah monitor itu tertancap dengan laptopnya, ia segera membuka email. Yasin menunjukkan salah satu email yang bertulisan Mr. Singh. Kata Yasin, ia sejatinya tidak tahu soal namanya yang masuk nominasi 2 persen peneliti berpengaruh dari Standford University tersebut.
Mr. Singh sempat mengirim email ke Yasin. Dua bulan lalu. Mr. Singh berbicara mengenai nominasi 2 persen peneliti berpengaruh. Tapi saat itu, Yasin mengira hanya Mr. Singh yang masuk. Bukan dirinya. Bahkan ketika itu, nominasi 2 persen peneliti berpengaruh belum diumumkan.
Yasin mengatakan tidak mudah masuk nominasi itu. Dari seluruh peneliti di dunia, hanya diambil 100 ribu peneliti. Di Indonesia, hanya ada 58 peneliti yang masuk. Termasuk Yasin.
Para peneliti wajib memiliki jurnal ilmiah. Yang sudah terindeks di Scopus, sistem ’’penggolongan’’ jurnal-jurnal yang bereputasi. Dan masuk Scopus itu tidak mudah. Penelitiannya harus baru. Related dengan keadaan zaman. Bukan saduran. Meskipun sudah memenuhi kriteria, belum tentu penelitian itu akan dipublikasi. Sebab penelitian juga harus menarik.
Yasin mengatakan sudah sejak 2007, ia menulis jurnal yang terindeks Scopus. Namun, baru tembus pada 2008. Ia ingat betul kegirangannya bisa menembus Scopus.
Menurutnya pada tahun 2007 sedikit dosen maupun peneliti yang bisa memublikasikan karyanya pada jurnal yang terindeks Scopus. Alhasil wadah itu menjadi gengsi sendiri bagi siapa saja yang berhasil mempublikasikan penelitiannya di sana.
Begitu sulitnya menembus Scopus, banyak dosen yang akhirnya ogah-ogahan memublikasikan karyanya di sana. Apalagi pada saat itu, publikasi jurnal internasional belum diwajibkan bagi dosen. ”Tidak seperti sekarang ya. Kalau mau naik pangkat, dosen setidaknya punya jurnal yang terindeks Scopus. Sekarang jadi wajib,” ungkap alumnus Jurusan Fisika Unair itu.
Sekarang Yasin sudah memublikasikan 211 jurnal ilmiah terindeks Scopus. Serta sudah disitasi sebanyak 1.104 orang. Artinya sebanyak 1.104 orang memakai penelitian yang dipublikasikan oleh Yasin.
Yasin mengatakan bahwa ada beberapa basis data penilaian agar masuk 2 persen peneliti berpengaruh versi Stanford University. Yakni tentang sitasi, h-index dan hm-index yang mengukur dampak sitasi (pengutipan) penelitian, serta indikator gabungan.
Peneliti diklasifikasikan menjadi 22 bidang serta 176 sub-bidang keilmuan. Data peneliti akan terus diperbarui. Hingga akhir tahun 2020.
Email yang berisi nama Moh. Yasin sebagai peneliti berpengaruh dunia versi Stanford University.
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)
Alumnus Magister Sains Fisika di Universitas Gadjah Mada itu tidak menyangka bisa mendapat gelar tersebut. Ia mengatakan selama ini hanya hobi menulis dan meneliti. Penelitiannya di bidang optik dan cahaya. ”Bagi saya dua unsur ini sangat menarik bila diteliti. Unsur optik dan cahaya bisa menjadi sebuah alat yang menarik. Bisa mendeteksi zat kimia maupun virus juga bisa,” ujarnya.
Meski begitu, Yasin tidak mau berpuas diri dengan nominasi 2 persen peneliti berpengaruh itu. baginya yang terpenting adalah terus melakukan penelitian. Serta harus bisa diimbangi dengan pembuatan inovasi berupa alat.
Pandangan Yasin lantas beralih dari monitor di atas meja kerja ke monitor laptopnya. Ia hendak menunjukkan sebuah penelitian yang sedang dikembangkannya. Namun penelitian itu masih tahap proposal. Tapi, ia yakin penelitian itu bakal menjadi temuan yang besar di dunia medis.
Bahkan bila alat itu sudah jadi, bisa laku keras di kalangan medis. Terutama dalam pengobatan penyakit jantung. ”Nah ini ketemu jurnalnya. Proposal ini sudah diajukan ke pemerintah. Tapi masih dalam proses. Semoga bisa terealisasi,” ungkapnya. (Andre Bakhtiar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber:
Komentar: 0
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google