Cuan Minyak Goreng

Cuan Minyak Goreng

Harian Disway - EMAK-EMAK menjerit. Setidaknya beberapa hari belakangan. Sebab, harga minyak goreng tak hanya naik. Tapi, meroket.

Bayangkan, harga salah satu kebutuhan pokok ibu-ibu memasak itu menyentuh angka Rp 20 ribu per liter. Padahal, normalnya hanya Rp 11 ribu.

Jeritan ibu-ibu makin melengking tak hanya karena lonjakan harga minyak goreng di pasar. Tapi, juga karena diikuti naiknya harga telur dan cabai.

Sayang, saya sudah tidak terlalu sering andok makan Sego Sambel Mak Yeye. Sego sambel yang begitu terkenal di kawasan Pasar Wonokromo, Surabaya, itu.

Jadi, tidak tahu apakah gejolak harga minyak goreng, cabai, dan telur itu ikut menaikkan harga sego sambel-nya. Selain ikan pe, telur, cabai, dan minyak goreng bahan utama dagangannya.

Presiden Joko Widodo sampai ikut bergerak. Ia perintahkan menteri perdagangan untuk mengendalikan pasar. M. Lutfi pun melangkah gelar operasi pasar.

”Harga minyak harus terjangkau,” titah presiden. Bahkan, ia menyinggung UUD 1945 mengiringi perintah itu. Yang mengharuskan hasil bumi untuk rakyat.

Akankah operasi pasar efektif menstabilkan harga? Masih perlu dilihat. Apalagi, dalam situasi kenaikan harga yang sampai 100 persen itu.

Tentu hal tersebut sangat bergantung dari seberapa banyak minyak goreng yang digelontor. Juga, seberapa luas penyebaran minyak goreng operasi pasar ditebar.

Yang sudah pasti, harga kali ini terkerek karena kelangkaan minyak goreng yang beredar di pasar. Dan ini karena harga palm oil sebagai bahan baku minyak goreng sedang tinggi.

”Ekspor minyak curah ke luar negeri cuannya lebih menjanjikan. Dibanding melayani kebutuhan dalam negeri sendiri,” kata kawan yang kerja di industri minyak goreng.

Minyak sawit memang sedang menjadi komoditas yang menjanjikan cuan alias uang. Baik untuk pasar dunia maupun domestik.

Menurut data 2020 yang dikelurkan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI), total produksi minyak sawit Indonesia mencapai 42 juta ton. Dari jumlah tersebut, yang diekapor 29,5 juta ton atau setara 70 persen.

Data itu berbeda dengan milik Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Menurut Juru Bicara GAPKI Tofan Mahdi, total produksi CPO sampai Juni 2021 mencapai 52 juta ton. Jumlah ekspor 37 juta ton atau 71 persen.

Eh... Malah lebih besar yang diekspor ketimbang yang diserap pasar dalam negeri. Dari 30 persen yang tak diekspor itu tak semua untuk minyak makan. Hampir 30 persennya untuk biodiesel.

Perkiraan konsumsi minyak goreng berbahan kelapa sawit mencapai 15 juta ton. Sementara itu, data AIMMI, yang diolah menjadi minyak goreng di dalam negeri 8,14 juta ton. Masih jauh dari kebutuhan minyak goreng konsumsi.

Struktur produksi seperti itu jelas membuat harga minyak gampang naik turun seperti roller coaster. Apalagi, saat harga minyak sawit internasional sedang tinggi. Seperti belakangan ini.

Apalagi, ekspor minyak sawit dalam bentuk curah. Apalagi, setelah ada larangan penjualan minyak goreng curah di dalam negeri. Yang mendorong ekspor minyak sawit lebih menguntungkan ketimbang melempar ke pasar domestik.

Selalu saja cuan lebih menarik ketimbang pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri. Itu hukum dagang. Itu ideologi pasar. Kalau jualan ke luar negeri lebih menghasilkan, kenapa harus berkutat di dalam negeri.

Jika struktur produksi industri minyak konsumsi masih njomplang seperti sekarang, setiap saat harga minyak goreng tak akan bebas gejolak. Setiap saat pasti akan melonjak.

Maka, salah satu kemungkinan untuk menurunkan harga minyak goreng, ya dengan membatasi ekspor minyak sawit. Seperti yang diberlakukan kepada batu bara belakangan.

Saya pun mengontak Tofan Mahdi yang mewakili suara pengusaha sawit. Apa yang terjadi jika ekspor minyak sawit dibatasi seperti batu bara?

”Akan terjadi distorsi pasar. Harga sawit akan jatuh. Sebab, demand palm oil global masih sangat tinggi,” kata mantan wartawan yang kini bekerja di Astra Agro itu.

Nah, persoalannya kini membiarkan kaum mamak tetap menjerit atau mengurangi cuan para pengusaha sawit? Kita tunggu saja jalan apa yang akan diambil pemerintah.

Politik tak hanya soal berbagi kuasa antar kekuatan politik. Tapi, juga antar pengusaha dan urusan dapur emak-emak. Memberi pengusaha sawit pundi-pundi cuan atau menjaga stabilitas dapur rumah tangga.

Rumit kan? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Komentar: 0