Membendung Ketimpangan PTN dan PTS, Jalan Terjal Mencari Keseimbangan
KH Imam Jazuli --
Tanpa pembatasan yang proporsional, PTN akan terus “rakus” menerima mahasiswa dengan dalih memenuhi akses pendidikan. Pada akhirnya, PTN sendiri akan mengorbankan mutu pendidikan. Lebih parah, sifat “rakus” ini akan menjelma praktik kapitalisasi pendidikan, yang jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Pemerintah juga harus memperkuat peran PTS. Bentuknya bisa berupa insentif pajak, dukungan pendanaan untuk riset, atau program kolaborasi dengan PTN dalam pengembangan SDM. Hal itu akan menjadi praktik keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
PTN memiliki tanggung jawab moral untuk tidak terjebak dalam logika kuantitas. Penerimaan mahasiswa baru dalam jumlah besar memang tampak populis. Tetapi, PTN harus sadar bahwa keseimbangan antara jumlah mahasiswa dan peningkatan kapasitas pengajaran/infrastruktur adalah nomor satu.
Namun demikian, PTS tidak boleh hanya meratapi nasib. PTS harus segera berbenah diri dan memperkuat layanan pendidikannya, agar tidak lagi dipandang “sebelah mata” setelah PTN. Masyarakat saat ini semakin selektif dalam memilih. Reputasi, link-and-match dengan kebutuhan industri lulusan harus menjadi pertimbangan utama.
PTS harus berani berinovasi, menghadirkan program studi yang adaptif terhadap perkembangan teknologi, memperluas jejaring dengan dunia industri, dan menawarkan pengalaman belajar yang lebih aplikatif. Namun, tetap dapat bersaing dari segi pembiayaan dengan PTN.
Sinergi untuk Masa Depan Pendidikan Tinggi
Mencari titik keseimbangan antara PTN dan PTS bukanlah perkara mudah. Tapi jika tidak dilakukan, kita hanya akan menghasilkan lulusan yang melimpah tapi rapuh menghadapi tantangan dunia kerja.
Pemerintah, PTN, dan PTS harus duduk bersama mencari solusi yang berpihak pada mutu pendidikan dan keberlanjutan sistem pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi bukanlah arena kompetisi bebas tanpa aturan.
Perguruan tinggi adalah ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya, agar dapat menghasilkan manusia-manusia yang siap membangun bangsa. Keseimbangan ini juga harus manifes di tingkat yang lebih rendah, yaitu antara sekolah negeri dan sekolah swasta.
Fenomena membeludaknya mahasiswa di PTN dan menurunnya pendaftar di PTS harus menjadi alarm bagi semua pihak. Tanpa regulasi yang adil, pembatasan kuota yang proporsional, dan inovasi layanan pendidikan, sistem pendidikan tinggi kita akan ambruk pelan-pelan.
Kini saatnya kita membenahi arsitektur pendidikan tinggi agar lebih inklusif, sehat, dan berdaya saing. Kita bukan negara kapitalis, yang membiarkan pasar pendidikan dimonopoli oleh yang berkuasa. Kita bukan juga negara sosialis, dimana intervensi pemerintah atas pendidikan sangat besar untuk menciptakan pemerataan.
Kita adalah negara Pancasila, yang memiliki amanat untuk bergotong royong dan bahu membangun membangun ekosistem yang kondusif, mulai tingkat sekolah hingga perguruan tinggi. Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta maupun PTN dan PTS adalah dua sayap yang sama pentingnya, agar Garuda bisa terbang tinggi di masa depan. (*)
*) Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, alumnus Universiti Malaya, Kuala Lumpur, alumnus Al-Azhar University, Egypt, dan alumnus Pesantren Lirboyo Kediri.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
