bannerdiswayaward

Membendung Ketimpangan PTN dan PTS, Jalan Terjal Mencari Keseimbangan

Membendung Ketimpangan PTN dan PTS, Jalan Terjal Mencari Keseimbangan

KH Imam Jazuli --

Di tengah gejolak permasalahan pendidikan, ada dua lagi fakta yang sama-sama mencemaskan. Pertama, beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) diketahui menerima mahasiswa baru dalam jumlah fantastis. Kedua, banyak perguruan tinggi swasta (PTS) yang justru mengalami penurunan pendaftar secara drastis. 

Bagi sebagian PTS, pokok masalahnya kompleks; penurunan angka penerimaan mahasiswa baru sekaligus ancaman eksistensial yang kian nyata. Fenomena ini memperlihatkan jurang ketimpangan antara PTN dan PTS yang makin lebar.  Jika dibiarkan, sistem pendidikan tinggi kita akan kehilangan keseimbangannya.

Lebih parah lagi nantinya, lembaga pendidikan akan kehilangan kemampuan mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Jika itu terjadi, maka upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045 akan timpang. Pendulum pendidikan bergerak satu arah, dimana tidak semua pihak berkontribusi.  

BACA JUGA:Kang Dedi Mulyadi: Potret Kepemimpinan Visioner dengan Catatan Kecil di Bidang Pendidikan

BACA JUGA:KDM, Kebijakan Jangan Sekadar Populis, tapi Juga Harus Adil

Penurunan jumlah pendaftar di PTS bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Sebaliknya, akar masalahnya berjalin kelindan sebagai sesuatu yang kompleks. Menteri Pendidikan Tinggi Brian Yuliarto menyebut bahwa fenomena ini berkaitan dengan lemahnya serapan tenaga kerja bagi lulusan PTS.  

Menurut Brian Yuliarto, banyak sektor industri yang tidak lagi agresif menyerap lulusan perguruan tinggi. Alasan pertama karena stagnasi ekonomi di sektor produksi dan kecenderungan industri nasional yang lebih banyak bergerak di sektor perdagangan. PTN pun menjadi magnet utama bagi calon mahasiswa.

 Biaya pendidikan di PTN dinilai relatif lebih murah, di samping berstatus sebagai lembaga negara dan bereputasi. PTN menjadi pilihan pertama bagi banyak keluarga. Daya tarik ini berbuah masalah. Sejumlah PTN menerima mahasiswa baru dalam jumlah yang jauh melampaui kapasitas.

Persoalannya bukan semata-mata persaingan antara PTN dan PTS. Minat tinggi terhadap PTN dari pada PTS menunjukkan adanya kualitas layanan pendidikan yang berbeda. Banyak PTS yang menawarkan biaya pendidikan murah selevel PTN namun dengan kualitas lebih rendah.

Rasio dosen dan mahasiswa PTS yang timpang, sarana prasarana yang terbatas, serta pembimbingan akademik yang minim. Variabel-varibel permasalahan PTS semacam ini menciptakan lulusan yang hanya “setengah matang”. Dunia industri dan perdagangan, serta lapangan pekerjaan, sulit menyerap lulusan PTS.

Di dalam kontekss inilah, peran dan komitmen pemerintah sebagai regulator  sistem pendidikan tinggi diuji. Regulasi yang tegas dan adil sangat diperlukan untuk menjaga agar kompetisi antara PTN dan PTS sehat. Regulasi akan mengatasi potensi saling sikut dan ajang saling mematikan antara PTN dan PTS di masa depan.

BACA JUGA:Dibesarkan dengan Cinta, Dibalas Air Tuba - Jawa Pos adalah Dahlan Iskan - 1

BACA JUGA:Ketika Media Menggugat Dirinya Sendiri, Dahlan Iskan adalah Jawa Pos (2 End)

Tidak cukup pemerintah menyerukan pembatasan waktu pendaftaran mahasiswa baru di PTN hingga akhir Juli. Hal itu memang langkah awal yang patut diapresiasi. Namun, langkah ini harus dilanjutkan dengan pengaturan kuota maksimal penerimaan mahasiswa baru di setiap PTN. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads