UMAT muslim khususnya para salik dan thalib ilmu tasawuf pasti tidak asing dengan nama Hasan al-Bashri. Ia lahir di Madinah pada tahun 22 Hijriah/642 Masehi, atau 14 tahun pasca pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan ra. Ia tumbuh di Wadil Qura, baru kembali ke Madinah lagi pada tahun 37 H., dan pada 38 H., ia pergi ke Bashrah, Irak.
Hasan al-Bashri ikut dalam peperangan melawan Andiqan, Andighan, dan Zabalistan di wilayah timur Iran selama 30 tahun. Selama berada di Iran, tepatnya di Khorsan, ia mengambil profesi sebagai juru tulis Al-Badi' bin Ziyad al-Haritsi (Fariduddin al-'Aththar, Tadzkiratul Awliya, 1/24).
BACA JUGA:Belajar Tasawuf dari Abu Yazid al-Bustomi
Setelah terlibat dalam peperangan di Iran, ia kembali ke Bashrah dan menetap selamanya di sana. Di Bashrah, ia berperan sebagai qadi/hakim yang tidak menerima gaji dan upah apapun dari profesinya itu (Ibnu Sa'd az-Zuhri, at-Thabaqat al-Kabir, 1957: 7/172).
Setibanya di Bashrah, Hasan al-Bashri hidup di bawah kepemimpinan al-Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafi (w. 714 M., di Wasith, Irak), seorang menteri pertahanan Kekhalifahan Umayyah yang dikenal keras dan kejam. Al-Hajjaj disebutkan bertanggung jawab atas kematian ribuan jiwa umat muslim.
Hasan al-Bashri menentukan sikap politiknya untuk tidak melakukan protes keras terhadap kejahatan Al-Hajjaj. Suatu ketika Hasan al-Bashri ditanya oleh sahabat-sahabatnya terkait al-Hajjaj: "Wahai Abu Sa'id, apa pendapatmu tentang membunuh orang jahat ini yang telah menumpahkan darah dan merampas harta milik orang lain, juga tidak pernah mengerjakan sholat sama sekali."
Hasan al-Bashri menjawab: "menurut saya, kalian hendaknya jangan memerangi dia. Jika peristiwa ini adalah azab dari Allah maka tak kalian takkan bisa menghentikan azab-Nya dengan pedang kalian. Tetapi, jiwa peristiwa ini adalah ujian bagi kalian, maka bersabarlah sampai Allah turun menghakiminya. Dia adalah Hakim Terbaik," (Ibnu Sa’d, Thabaqat, 7/163-4).
Sikap politik yang ditunjukkan oleh Hasan al-Bashri di atas, pada hakikatnya, adalah upayanya untuk menyelamatkan umat muslim dari kekejaman dan kejahatan Al-Hajjaj. Bukan bentuk pasivisme kaum Sufi dan kebungkaman mereka dalam menghadapi penguasa zalim. Artinya, jika posisi umat muslim tidak sedang kuat untuk melakukan perlawanan, maka pilihan yang terbaik adalah bersikap diam, seperti ditunjukkan oleh Hasan al-Bashri di atas.
Alasan Hasan al-Bashri memilih diam dalam menyikapi penguasa yang zalim pun masuk di akal. Menurut Hasan al-Bashri, orang beriman tidak pantas menjermuskan dirinya sendiri. Sebab, pedang mereka (penguasa zalim) jauh lebih cepat dari lidah kita (argumentasi). Jika kita berbicara begini begitu maka mereka akan balas berbicara dengan pedangnya. Dia (al-Hajjaj) akan melayangkan pukulan pada kita (Ibnu Sa’d, Thabaqat, 7/176).
Hasan al-Bashri tetap memilih untuk menjauhi penguasa yang zalim sampai beberapa tahun kemudian, tepatnya pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H.). Umar bin Abdul Aziz ini adalah khalifah paling adil dari kalangan Daulah Umayyah dan paling mirip dengan Khalifah Umar bin Khatthab ra.
Ketika angin politik berubah arah, Hasan al-Bashri mengubah sikap politiknya dan tidak lagi menjauhi para penguasa. Umar bin Abdul Aziz pun berinisiatif untuk membangun hubungan positif dengan Hasan al-Bashri, yang kala itu berada di puncak kariernya sebagai agamawan, ilmuan, dan panutan sosial (Ibnu al-Jawzi, Adab al-Hasan al-Bashri, Kairo, 1931).
Dengan kata lain, kaum Sufi tidak antipati terhadap istana dan kekuasaan politik. Selama arah politik tidak menguntungkan umat muslim, seorang sufi akan lebih memilih membangun dan memperkuat tatanan sosial masyarakat, dari pada berpihak pada penguasa zalim. Sebaliknya, ketika istana dan kekuasaan politik sudah bernapaskan nilai-nilai Islam, seorang Sufi akan terjun langsung ke dalamnya.
Ibnu al-Jawzi konsisten mengkaji karya Hasan al-Bashri ketika sedang mesra dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, antara lain: Risalah fi Shifat al-Imam al-'Adil, Risalah fi Dzammi al-Dunya, Risalah Shaghirah fi Wa'zhi Umar, Risalah Thawilah ila Umar bin Abdil Aziz fi al-Zuhdi, Risalah Shaghirah ila Umar Yu'zihi fi Ibnihi Abdil Malik.
Dari berbagai judul karya ini, kita tahu Hasan al-Bashri menjadi guru istana kerajaan Daulah Umayah era Umar bin Abdul Aziz. Sikap seperti Hasan al-Bashri ini pula yang dipraktikkan oleh para kyai dan waliyullah di Nusantara. Dewan Walisongo sangat aktif menjadi penasehat Kasultanan Demak. Bahkan, di abad 19, kita lihat Pondok Pesantren Tegalsari di bawah kepeimpinan Kasan Besari menjadi tempat belajar para putra keraton.
Ketika posisi politik kerajaan jatuh ke tangan kolonial, para ulama dan waliyullah keluar dari lingkungan elite istana dan membangun peradaban sendiri di pelosok-pelosok desa. Tidak heran bila kita menemukan pesantren-pesantren tua di Nusantara ini berada di pedalaman, bukan di pusat kota. Itu karena, seperti ditunjukkan oleh Hasan al-Bashri, para Sufi akan menjauhi politik penguasa yang zalim dan tidak mencerminkan nilai-nilai Islami.