Belajar Tasawuf dari Abu Yazid al-Bustomi

Belajar Tasawuf dari Abu Yazid al-Bustomi

KH Imam Jazuli Lc--

SUFISME Islam lahir dari penggalian makna-makna al-Quran secara mendalam, menerjemahkannya ke dalam laku hidup, tentang arti kesederanaan dan cinta kasih pada seluruh umat manusia tanpa kecuali. SUFISME adalah praktik spiritual yang dibangun di atas keteladanan Rasulullah saw dan para sahabatnya. 

Seiring waktu, ajaran Rasul dan jejak Sahabat dikembangkan oleh para tabi’in dan tabiut tabi’in, salah satunya Abu Yazid al-Bustomi yang hidup abad 3 Hijriah. Ia lahir dan wafat di Bustom, Iran, antara tahun 804-874 M. Dalam bahasa Persia, namanya dikenal sebagai Bayazid. 

BACA JUGA:Belajar Tasawuf dari Uwais al-Qarni

Salah satu guru sanad hadits yang diriwayatkannya berasal dari pendiri mazhab Ja'fari, yaitu Imam Ja'far ash-Shodiq, 83-148 H./702-765 M. (Az-Dzahabi, Siyar A'lam an-Nubala', 13/86). Mazhab Ja’fari ini sangat populer di Iran sejak awal. Tidak heran bila Bayazid banyak terpengaruh oleh Imam Ja’far. 

Salah satu ucapan Bayazid yang menggambarkan ajaran dan pemikirannya antara lain: “tidak ada tuhan selain Aku” dan “Mahasuci Aku, betapa agung diri-Ku,” (Munir al-Ba'labakki, Mu'jam A'lam al-Mawrad, Beirut, 1992: 106). Dalam bahasa Arab, ajaran ini disebut Wahdatul Wujud atau Unity of Being.

Dalam Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali mengomentari ucapan-ucapan syathahat Bayazid tersebut: “jika pun benar ucapan Bayazid tersebut, semoga itu dalam rangka merepetisi firman Allah SWT dan mengutipnya dalam ucapan-ucapan Bayazid sendiri.”  Jadi, bagi al-Ghazali, Bayazid tidak sedang mengaku dirinya sebagai Tuhan.

Misalnya, ucapan Bayazid "sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku." Ucapan seperti itu tidak bisa dipahami berasal dari Bayazid sendiri, kecuali sebatas mengutip firman Allah,” (Ghazali, Ihya’, Semarang: Taha Putra, 1/36). Pengutipan ayat Alquran dalam ucapan manusia absah dilakukan, dan tidak menyebabkannya murtad.

Ajaran Wahdatul Wujud ala Bayazid ini tidak lepas dari konsepnya tentang Insan Kamil. Bayazid mengatakan, Insan Kamil yang sempurna itu adalah seseorang yang dibalut oleh sifat-sifat Allah, dan ia sendiri tidak menyadari hal tersebut. Ia masuk dalam keadaan fana'. 

Insan Kamil adalah orang yang meyakini penyatuannya dengan Allah yang menciptakannya dalam rupa-Nya. Namun, hal ini tidak mudah kecuali bagi para Nabiyullah dan pawa Waliyullah (Abdul Lathif at-Thaibawi, At-Tasawwuf al-Islami al-Arabi, Wikalah ash-Shahafah al-Arabiah, 2022: 77).

Dengan begitu, Bayazid masih meyakini bahwa para Nabi dan Rasul yang dikasih dan dicintai oleh Allah SWT adalah teladan dan contoh paling sempurna tentang realitas konsep Insan Kamil. Manusia yang paling sempurna tiada lain adalah para Nabi dan para Rasul, kemudian para Waliyullah yang mewarisi ajaran-ajaran Nabi dan Rasul. Dengan kata lain, Bayazid mengagumi para Nabi dan Rasul sebagai representasi kehadiran sifat-sifat Tuhan di muka bumi.

Ajaran-ajaran Sufistik Bayazid adalah akumulasi dari proses akulturasi antara Islam dan tradisi Persia. Dalam istilah ilmuan kontemporer, seperti Gus Dur, Bayazid sedang melakukan upaya pribumisasi Islam di negeri Persia. Salah satu tradisi intelektual Persia mengatakan bahwa segalanya lahir dari Allah dan kembali pada Allah. Alam semesta ada karena Allah (Abdul Lathif bin Abdul Qadir, Ta'tsir al-Mu'tazilah fi al-Khawarij wa asy-Syi'ah: Asbabuhu wa Mazhahiruru, Jiddah, 2000: 166).

Pribumisasi Islam ataupun akulturasi Islam seperti dikembangkan oleh tradisi intelektual sufistik bukan problem teologis yang berbahaya. Sebab, budaya dan tradisi lokal hanyalah bungkus lahiriah, sementara substansinya adalah nilai-nilai Islami. Hal itu mirip sepenuhnya dengan tradisi tahlilan saat mendoakan orang yang meninggal dunia, hari pertama, hari ketiga, hari ketuju, hari keempat puluh, hari keseratus, tahun pertama (haul),  haul ke-2, ke-3, dan seterusnya.

Pada upacara tahlilan tersebut, substansinya tetaplah ajaran Islam, seperti membaca Alquran, membaca sholawat, dan berdzikir berjamaah, walaupun lahiriahnya adalah tradisi lokal. Pribumisasi Islam dan akulturasi Islam adalah proyek keagamaan yang sejak awal dipelopori oleh kaum Sufi, termasuk Bayazid ini. Tidak heran bila Islam di Nusantara kental dengan adat dan tradisi lokal, karena para da’i awal adalah para Waliyullah.

Memang benar tradisi lokal Persia mengatakan bahwa alam semesta ini datang dari Tuhan mereka. Tetapi, setelah Bayazid mengembangkan pemikirannya, umat muslim hingga hari ini menjadi tahu bahwa asal muasal alam semesta ini adalah Allah SWT, bukan lagi tuhan dalam pengertian ajaran lokal Pesia pra-Islam. Bayazid berhasil membahasakan ajaran Islam dengan bahasa tradisi lokal Persia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: