PADA tahun 9 November 858 M, di Kota Wasith, Irak, lahirnya seorang sufi besar sekaligus penyair bernama al-Husain bin Manshur al-Hallaj. Ia memiliki banyak pengikut ketika masih berperan sebagai seorang Khatib Anom, sebelum kemudian terlibat dalam kancah politik Daulau Abbasiah. Ia wafat pada 26 Maret 922.
Keterlibatannya dalam politik membuatnya terjerumus dalam penjara dalam waktu yang cukup panjang, dengan tuduhan berbau politik sekaligus agama. Di samping ketidaksukaan elite politisi, banyak para sufi yang sezaman dengan al-Hallaj tidak cukup terhadap pemikiran dan perilakunya (J.W. Fiegenbaum, Al-Hallaj, Islamic Mystic, Encyclopedia Britannica, 2020).
BACA JUGA:Belajar Tasawuf dari Uwais al-Qarni
Di antara sufi besar Baghdad yang bersahabat dekat dengan Al-Hallaj adalah Abul Qasim Al-Junaid al-Baghdadi. Berbeda dari Junaid al-Baghdadi yang halus dalam berpolitik, Al-Hallaj sangatlah frontal. Salah satu tokoh bebuyutan al-Hallaj adalah Muhammad bin Daud az-Zahiri, seorang hakim di Baghdad. Ibnu Daud menganggap ajaran al-Hallaj menyimpang dari Islam.
Kemudian, Ibnu Daud memperkarakan masalah al-Hallaj ini ke sidang pengadilan agar dihakimi oleh para qadi di zaman itu, dengan tuntutan agar digantung. Proses pengadilan ini berjalan cukup lama, sekitar 7 tahun. Sebelum keputusan diambil, Khalifah al-Muqtadir billah bin al-Mu'tadhid, yang berkuasa di Baghdad dari tahun 908 sampai 932, sudah meminta al-Hallaj untuk bertaubat.
Al-Hallaj menolak permintaan sang Khalifah. Karenanya, sang wazir yang bernama Hamid bin Abbas pun menjalankan perintah Khalifah, agar menggantung al-Hallaj di atas tiang. Setiap hari, al-Hallaj diturunkan dari tiang gantungan dan dimasukkan ke dalam penjara. Tidak hanya itu, penjaranya pun berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat berikutnya. Terakhir, ia dipenjara di rumah Sultan (Mushthafa al-Jawwad, Ushult Tarikh wal Adab, 22/32.).
Sebagai seorang penyair sekaligus politisi, al-Hallaj mengarang kitab yang khusus bicara politik Islam, kewajiban para menteri untuk menegakkan hukum Islam secara benar, agar seorang menteri menegakkan keadilan di tengah rakyatnya dan seorang khalifah yang menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya sehingga Allah meridhainya (Thaha Abdul Baqi Surur, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, 2020: 40).
Baghdad itu sendiri kala itu adalah pusat ibukota pemerintahan Daulah Abbasiah. Al-Hallaj mengajarkan sufisme Islam dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan duniawi para khalifah dan wazir. Al-Hallaj menentang para raja dan amir yang merusak kehidupan masyarakat muslim, menjalankan hukum yang tidak Qurani, dan memalingkan umat dari jalan yang lurus.
Sementara itu, banyak para ulama kalam dan tauhid maupun fuqaha' yang hanya memecah belah umat ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Bagi al-Hallaj, setelah syariat Islam itu diputuskan dengan jelas, maka sudah tidak penting lagi perdebatan apapun. Yang ada hanyalah keimanan dan mengamalkan ajaran Islam.
Rynold A. Nicholson mengatakan, Al-Hallaj hidup secara sempurna dalam kesufiannya, dalam setiap lafad yang diucapkannya, dalam setiap pemikiran yang terlintas pada dirinya. Ia dijuluki Al-Masih dari Islam (Surur, Al-Husain, 2020: 42). Jadi, musuh al-Hallaj tidak saja para politisi yang korup dan jauh dari nilai-nilai Islam, tetapi juga para ulama yang hanya memecah belah umat dan tidak mendorong persatuan kesatuan bangsa.
Keinginan utama Al-Hallaj untuk mengajak para politisi menjalankan hukum Islam yang benar dan para ulama untuk mempersatukan umat disampaikan di Masjid al-Manshur, yang dibangun oleh Abu Manshur (754-775), Khalifah Kedua Abbasiyah di Kota Baghdad, Irak. Di Masjid Manshur inilah, pemikiran politik dan keruhanian al-Hallaj berhasil menarik perhatian massa sekaligus menambah kebencian para elite politisi.
Pandangan-pandangan al-Hallaj sangatlah jernih bagi masyarakat yang sedang dilanda konflik dan perpecahan sosial dan politik kala itu. Kongkalikong para ulama fikih dan elite politisi ini menggemparkan dunia. Masyakarat akar rumput, bila melihat pemimpin politik sudah korup dan para ulama membebek pemerintah, maka mereka butuh “ratu adil” untuk memimpin perlawanan. Al-Hallaj hadir memimpin mereka dari jalan spiritual ke perlawanan politik.
Abul Abbas al-Mursi (1219-1281), guru besar tarekat Syadziliah, mengatakan: dua hal yang membuat fuqaha' kesal: pendapat mereka tentang kekufuran al-Hallaj dan kematian Nabi Khidir. Kematian Al-Hallaj tidak didukung oleh dalil yang kuat. Dan apapun pendapatnya itu benar (Samir as-Sa'idi, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj: Hayatuhu, Syi'ruhu, Ntasaruhu, 1996: 8).
Sampai di sini, bukan saja ulama abad 13 seperti Abul Abbas al-Mursi di atas, tetapi kita akan selamanya ikut mengambil pelajaran. Politik yang rusak karena pemimpin yang tidak amanah memang perlu dilawan. Perlawanan tersebut sangat diharapkan dipimpin oleh seorang tokoh sufi, yang tulus dan bersih. Sebab, perlawanan yang dipimpin aktivis biasa pada umumnya, biasa mereka akan ikut berkhiana bila duduk di kursi pemerintahan.
Banyak kasus para aktivis yang berada di jalur suara rakyat. Tetapi, ketika mereka mendapat jatah jabatan, suara mereka tenggelam. Bahkan, mereka muncul sebagai garda terdepan pembela penguasa. Karenanya, kita butuh pemimpin politik dari kalangan sufi. Pemimpin sosial politik dari kalangan sufi sudah kita temukan figurnya dalam diri Abu Manshur al-Hallaj. (*)