Sebelumnya, buntut dugaan korupsi pengadaan helikopter TNI AU, Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna dan purnawirawan TNI Supriyanto Basuki diminta kooperatif.
KPK mengimbau dua saksi tersebut yang dipanggil dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101 di TNI AU tahun 2016-2017 agar memenuhi panggilan.
“Informasi yang kami peroleh, keduanya tidak hadir. Kami akan jadwal ulang dan menghimbau agar para saksi kooperatif hadir sesuai jadwal panggilan yang suratnya segera kami kirimkan,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Jumat 9 September 2022.
Sebelumnya, KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap keduanya di Gedung KPK, Jakarta, Kamis 8 September 2022 untuk tersangka Irfan Kurnia Saleh (IKS) selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG).
Konstruksi Perkara.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan pada Mei 2015, Irfan bersama Lorenzo Pariani (LP), sebagai salah satu pegawai perusahaan AW.
Ia menemui Mohammad Syafei (MS) yang saat itu masih menjabat sebagai asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf TNI AU dengan pangkat marsekal muda TNI (bintang dua) di Markas Besar TNI AU di Cilangkap, Jakarta Timur.
Dalam pertemuan itu, terdapat pembahasan di antaranya terkait pengadaan helikopter AW-101 dengan konfigurasi VIP/VVIP TNI AU.
Di lingkungan TNI AU, hanya ada satu skuadron udara yang memiliki armada dalam konfigurasi VIP/VVIP, yaitu Skuadron Udara 17 VVIP.
Kemudian organnya dimekarkan menjadi Skuadron Udara 45 VVIP (khusus helikopter angkut kepresidenan).
IKS yang juga menjadi salah satu agen AW diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada MS dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS.
Nah harga pembelian yang disepakati IKS dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar AS (ekuivalen dengan Rp 514,5 miliar).
Selanjutnya pada November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap pra-kualifikasi dengan menunjuk langsung PT DJM sebagai pemenang proyek.
Hal itu tertunda karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung.
Pada 2016, pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjutkan dengan nilai kontrak Rp 738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus, yang hanya diikuti dua perusahaan.
Dalam tahapan lelang itu, KPK menduga panitia lelang tetap melibatkan dan mempercayakan Irfan dalam menghitung nilai harga perkiraan sendiri (HPS) kontrak pekerjaan.