Seharusnya Permohonan Pengujian Pasal 169 UU Pemilu Diajukan Partai Gerindra Bukan Oleh Sekber Prabowo

Kamis 24-11-2022,17:24 WIB
Oleh: Syaiful Amri

Persoalan Baru

Sekiranya MK nanti mengabulkan permohonan bahwa seseorang yang sudah pernah menjabat sebagai Presiden dua periode sah untuk mencalonkan diri sebagai Cawapres, dan Gerinda benar-benar mencalonkan Prabowo-Jokowi, maka akan tidak tertutup kemungkinan Pasangan Capres-Cawapres dalam Pemilu 2024 hanya satu paslon saja.

Dengan majunya Prabowo-Jokowi, ada kemungkinan balon-balon lain termasuk Puan, Ganjar dan Anies mengurungkan niatnya untuk maju berhadapan dengan pasangan Prabowo-Jokowi. Bisa juga niat tetap ada, tetapi perahu kosong sudah tidak tersedia sebab telah "diborong" pasangan Prabowo-Jokowi. Kalaupun perahu kosong tetap ada, tetapi kemungkinan besar juga sudah tidak mencukupi lagi ambang batas 20 persen syarat pencalonan.

Kalau itu benar terjadi, paslon Capres-Cawapres adalah calon tunggal Prabowo-Jokowi, maka persoalan konstitusional baru yang selama ini tidak dipikirkan banyak ahli hukum tatanegara dan politisi, akan muncul ke permukaan. 

Pertanyaannya adalah: 

(1) Bisakah Pilpres dilaksanakan sesuai jadwal yang dibuat KPU kalau paslonnya tunggal tanpa lawan? 

(2) Apakah Pilpres harus ditunda sampai adanya minimal dua paslon?

(3) Kalau paslon tetap hanya satu, apakah Pilpres tetap dilaksanakan melawan kotak kosong? 

(4) Atau, apakah paslon tunggal Prabowo-Jokowi itu langsung ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang dan langsung pula dilantik oleh MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029? 

Terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, UUD 45 hasil amandemen ternyata tidak memberikan jalan keluar apapun. Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang norma Pasal 169nya dimohonkan untuk diuji MK oleh Satgas Prabowo juga tidak memberikan pengaturan untuk hal itu, walaupun DPR dan Presiden memperoleh pendelegasian UUD 45 untuk mengatur lebih lanjut Tata Cara Pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan undang-undang.

Nampak ada suatu keanehan pada anggota MPR yang mengamandemen norma Pasal 6 UUD 45, karena mereka bertolak dari asumsi bahwa Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang maju dalam setiap Pemilu akan lebih dari satu pasangan. Karena itu, pengaturan semua ayat dalam Pasal 6A hanya mengatur tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang paslonnya lebih dari satu pasang. Padahal kemungkinan paslon tunggal, baik karena tidak ada peminat, maupun parpol pengusul yang punya threshold sudah "diborong" habis oleh satu paslon, dalam hal ini misalnya oleh pasangan Prabowo-Jokowi, adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. 

UUD 45 sebelum amandemen juga memang tidak mengatur tata cara lebih rinci tentang Pilpres, termasuk jika hanya ada 1 pasangan calon. Tetapi, MPR mengatasi kevakuman pengaturan itu dalam Ketetapan MPR yang menegaskan jika hanya ada satu calon Presiden dan calon Wakil Presiden, maka MPR menetapkannya secara aklamasi sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

MPR menetapkan calon Presiden dan Wakil Presiden tunggal secara aklamasi menjadi Presiden dan Wakil Presiden tanpa proses musyawarah-mufakat dan tanpa pemungutan suara adalah sah dan wajar karena MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR juga merupakan "penjelmaan seluruh rakyat Indonesia". 

Sekarang, pasca amandemen, kedaulatan masih berada di tangan rakyat, tetapi tidak dilaksanakan sepenuhnya lagi oleh MPR yang juga tidak lagi berfungsi sebagai "penjelmaan seluruh rakyat Indonesia". UUD 45 pasca amandemen memang masih memberikan kewenangan kepada MPR dalam kaitannya dengan Presiden dan Wakil Presiden, yakni memberhentikannya sebagai bagian akhir dari proses pemakzulan, menetapkan Wakil Presiden menjadi Presiden dalam hal Presiden berhalangan tetap, dan melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam waktu 30 hari setelah Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap dalam waktu bersamaan.

Selain apa yang saya kemukakan di atas, tidak ada kewenangan MPR dalam kaitannya dengan pengisian dan pemberhentian jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Jadi, jika ternyata sampai tenggat akhir pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan KPU, ternyata hanya ada satu paslon yang mendaftar dan memenuhi syarat, maka apakah KPU berwenang menetapkan pasangan tersebut otomatis menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih? Saya berpendapat tidak.

MPR sebelum amandemen berwenang menetapkan calon Presiden dan Wakil Presiden secara aklamasi menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih karena MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat adalah lembaga tertinggi negara yang berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sementara KPU tidak memiliki kewenangan seperti itu. KPU hanyalah penyelenggara Pemilu, termasuk Pilpres, sedangkan yang menentukan siapa pemenang adalah rakyat secara langsung. KPU hanya menetapkan Capres dan Cawapres terpilih berdasarkan suara terbanyak yang dilakukan oleh rakyat. 

Kategori :