Karena seperti di atas itu pandangan MK, maka permohonan Pasal 169 UU Pemilu semestinya diajukan oleh Partai Gerindra, bukan oleh Sekber Prabowo.
Itupun kalau sekiranya partai itu berniat untuk mencalonkan pasangan Prabowo-Jokowi sebagai Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2024.
Sebagai parpol peserta Pemilu 2024, Gerindra dengan menggandeng parpol lain akan mencukupi ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) dan berhak untuk mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2024 nanti.
Jika pasangan calon yang akan mereka usulkan adalah Prabowo-Jokowi, maka niat Partai Gerindra itu ada kemungkinan akan terhalang dengan sifat multi tafsir Pasal 169 UU Pemilu, yakni apakah orang yang pernah menjabat Presiden dua periode, bisa menjadi calon Wakil Presiden atau tidak.
Pengujian terhadap Pasal 169 UU Pemilu antara lain dapat dilakukan terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur tentang keadilan dan kepastian hukum.
BACA JUGA:Yusril Ihza Mahendra: Ada Satu Hal yang Kita Harus Pegang dari Warisan Pemikiran Buya Syafii
Kalau Partai Gerindra bertindak sebagai pemohon, maka saya "haqqul yaqin" MK tidak akan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Partai Gerindra punya legal standing untuk mengajukan permohonan.
Bahkan dugaan saya, MK juga akan mengabulkan materi permohonan tersebut, yakni orang yang pernah menjabat Presiden dua periode adalah sah atau boleh mencalonkan dan/atau dicalonkan oleh parpol peserta Pemilu sebagai Cawapres. Secara eksplisit UUD 1945 juga tidak melarang hal itu.
Kalau permohonan diajukan ke MK dan hasilnya dikabulkan, maka Partai Gerindra akan "melenggang kangkung" mencalonkan pasangan Prabowo-Jokowi sebagai Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2024.
Harapan untuk menang juga besar. Pasangan ini, secara politik, potensial bisa mengalahkan calon lain yang banyak disebut akhir-akhir ini seperti Puan Maharani, Ganjar Pranowo atau Anies Baswedan.
Sekiranya pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Jokowi itu maju, maka langkah itu adalah jalan tengah untuk menyelesaikan kontroversi gagasan yang pernah dikemukakan Muhaimin Iskandar dan Bahlil Lahadalia tentang Jokowi tiga periode atau penundaan Pemilu 2024, yakni keinginan beberapa pihak yang ingin memperpanjang masa jabatan Jokowi dengan berbagai alasan, entah itu alasan ekonomi dan keuangan, pandemi yang masih berlangsung, kelanjutan program pembangunan infrastruktur dan realisasi pembangunan IKN. Para investor juga tidak akan ragu-ragu berinvestasi di IKN, karena alasan tidak adanya kepastian hukum dan politik.
Kekhawatiran para investor itu adalah, kalau ganti Presiden, maka proyek IKN akan mangkrak atau dibatalkan seperti Proyek Hambalang warisan SBY. Investasi mereka akan sia-sia. Soal kelanjutan program, pembangunan infrastruktur dan IKN yang menjadi prioritas Jokowi, dan pembangunan pertahanan serta industri pertahanan yang menjadi prioritas Prabowo, tinggal dinegosiasikan mereka berdua untuk diteruskan.
Kalau itu terjadi, kemungkinan besar Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya satu putaran. Jokowi disebut-sebut masih mendapat dukungan luas kalangan wong cilik dan pemodal besar. Prabowo dalam Pemilu yang lalu didukung dengan gegap gempita oleh umat Islam berdasarkan fatwa dan ijtima' para ulama dan habaib.
Entah kalau ada fatwa dan ijtima' ulama yang baru yang "memansukhkan" atau membatalkan hasil ijtima' tersebut. Dalam hukum fiqih bisa saja ada "qaul jadid" atau pendapat baru, yang menggantikan "qaul qadim" atau pendapat terdahulu.