Masing-masing dari mereka berkampanye dengan cara, tema dan narasinya sendiri-sendiri.
"Bukannya berkompetisi dengan partai lain, sesama caleg kader internal partai berkontestasi dan berbenturan secara keras satu sama lain agar mendapatkan suara terbanyak di internal partainya," ujarnya.
BACA JUGA:Kacau! Hacker Bocorkan Alamat Email dari 235 Juta Pengguna Twitter
BACA JUGA:Pesan Singkat Verrel Bramasta untuk Dukung Mamah Venna Melinda, Sangat Menyentuh
3. Sistem proporsional terbuka lebih cenderung menyebabkan pemilih memilih figur kandidat ketimbang tautan partai.
Itu artinya sistem proporsional terbuka lebih mengandalkan tokoh dari caloh legislatif tersebut ketimbang menguatkan sistem kepartaiannya.
"Cenderung memilih presiden ketimbang partai, senang dengan nama, maka memilih nama dan tidak memilih partai," kata Pangi.
"Tentu saja, memang tidak bisa disamaratakan kasusnya, misalnya PDIP dan PKS lebih cenderung yang menonjol pengaruh DNA partai ketimbang pengaruh kandidasi figur calonnya di dalam memutuskan pilihan politiknya, artinya party effect lebih menonjol daripada person effect," tambahnya.
BACA JUGA:Venna Melinda Minta Bantuan Hotman Paris Tuntaskan Kasus KDRT: Hidungnya Berdarah-darah
BACA JUGA:Pecat Rian Mahendra dari PO Haryanto, Sopir Angkot yang Jadi Raja Bus Ingin Anaknya Merasakan Ini
4. Sistem pemilu proporsional terbuka juga menyebabkan salah satu alasan rendahnya party-ID.
Pangi menyebutkan hanya sebesar 13,2 persen, pemilih yang merasa dekat baik secara ideologis maupun psikologis dengan partainya.
"Dugaan saya salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan sistem pemilu proporsional terbuka, sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka selama itu presentase party-ID di Indonesia tetap rendah," jelasnya.
5. Sistem pemilu proporsional terbuka juga menyebabkan tingginya 'split ticket voting', tidak tegak lurus atau beririsan antara pilihan partai dan pilihan presiden.
Fenomena split ticket voting adalah bentuk dari kegagalan partai politik di dalam mengelola isu dan program, kejenuhan konstituen yang kemudian menyebabkan pemilih abai terhadap keinginan partai.
Jika fenomena ini terjadi, maka pemilih cenderung lari kepada calon lain yang justru tidak diendorse oleh partainya, akibat rendahnya party-ID menyebabkan pemilih tidak taat kepada partainya.