Berbeda dengan sistem proporsional terbuka, rakyat bisa memilih langsung calon legislatif yang akan mewakili mereka di DPR maupun DPRD.
Hal tersebut dikarenakan rakyat dapat melihat langsung foto calon legislatif saat pemungutan suara berlangsung.
BACA JUGA:Cek Jadwal M4 Mobile Legends Knockout Stage Hari ke-4, 3 Hero ML ini Paling Sering Kena Banned
BACA JUGA:Pecat Rian Mahendra dari PO Haryanto, Sopir Angkot yang Jadi Raja Bus Ingin Anaknya Merasakan Ini
Adapun sistem proporsional terbuka sudah mulai diterapkan sejak Pemilu 2004 hingga terakhir Pemilu 2019 lalu.
Namun pada Pemilu 2024 ini, sistem proporsional tertutup kembali mencuat karena adanya gugatan dari 6 warga sipil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Menguatnya keinginan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup boleh jadi karena anti tesis rendahnya kualitas, kapasitas, mutu dan kompetensi 575 anggota DPR-RI yang terpilih di periode sekarang," kata Pangi.
"Walaupun mereka dipilih rakyat secara langsung tapi produk undang-undang yang dihasilkan jauh dari jeroan selera rakyat, undang-undang untuk kepentingan elite semata," sambungnya.
BACA JUGA:Pecat Rian Mahendra dari PO Haryanto, Sopir Angkot yang Jadi Raja Bus Ingin Anaknya Merasakan Ini
BACA JUGA:Lukas Enembe Ditangkap KPK, Polda Papua Perketat Keamanan di Mako Brimob Kota Raja
Setidaknya ada beberapa alasan menggapa sistem pemilu proporsional terbuka telah merusak partai politik.
1. Calon legislatif sesama di internal partai bersaing ketat satu sama lain.
Menurut Pangi, ini sangat berbahaya bagi para kader partai politik karena dianggap saling sikut demi memenangkan pemilihan tersebut.
"Manusia menjadi serigala bagi sesamanya (leviathan), saling menerkam dan saling memakan di antara internal caleg," jelas Pangi.
2. Sistem proporsional terbuka melemahkan partai politik.
Pada point kedua ini, Pangi menyebutkan tidak ada calon legislatif yang benar-benar kampanye mengunakan visi dan misi yang telah disusun partai.