Sehingga dari definisi "Silent Majority", bisa disimpulkan bahwa setiap pemilih yang memiliki preferensi politik tertentu, tetapi memilih untuk terdiam dan tidak menyatakan secara terbuka terkait pilihannya akan terlihat di hasil akhir.
Sesuai dengan istilahnya yang Silent atau tak berkoar-koar, fenomena itu kerap terjadi di AS dan hasil quick count itu bisa dikomparasikan dengan keunggulan sementara Prabowo-Gibran.
Pakar banyak menyebut "Silent Majority" memberikan peluang bagi suatu pihak untuk memenangkan kontestasi politik baik pemilihan Senator, Kepala Daerah seperti Gubernur hingga Presiden.
Istilah Silent Majority digaungkan keras oleh Presiden Richard Nixon pada 1969 selama kampanye paruh waktu yang ia sebut sebagai "sekelompok besar orang Amerika konservatif" yang tidak mengungkapkan pendapat mereka secara terbuka.
BACA JUGA:Kata OSO soal Hasil Quick Count: Ini Gila, Pemilu Gila!
BACA JUGA:Prabowo-Gibran Unggul di Quick Count, Jokowi: Itu Penghitungan Ilmiah
Nixon mengatakan, "Silent Majority" ini berbeda dengan "pihak minoritas" yang secara aktif berdemonstrasi menentang perang Vietnam. Tidak hanya presiden ke-37 Amerika Serikat (AS) tersebut, presiden ke-45 AS, Donald Trump, juga memomulerkan "Silent Majority".
Masih teringat betul bahwa selama kampanye kepresidenan pada 2016, Trump kerap menggunakan istilah "Silent Majority". Elektabilitas Trump bahkan stagnan alias tak mampu menyaingi Hillary Clinton saat Pemilu AS 7 tahun yang lalu.
Trump yang kerap dihantam isu-isu tak sedap, justru dimanfaatkan sebagai bumerang bagi lawannya saat election day berlangsung. Pada saat itu, "Silent Majority" bersikap diam, namun mereka menggunakan bilik suara untuk membuat suara mereka didengar.