JAKARTA, DISWAY.ID-- Dalam sidang sengketa Pilpres 2024, Tim Hukum Anies-Muhaimin menghadirkan pakar Otonomi Daerah dari Universitas Nasional, Djohermansyah Djohan.
Dalam kesaksiannya dengan menyebut kemenangan paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sebagai hasil dari 'fraud' atau kecurangan.
Djohermansyah menyoroti keterlibatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pengangkatan Penjabat Kepala Daerah serta penggalangan kepala desa yang diyakini untuk memenangkan paslon tersebut.
BACA JUGA:10 Saksi Kubu Anies-Muhaimin Tiba-tiba Mengundurkan Diri Jelang Sidang PHPU, Ada Intimidasi?
"Terkait dengan pengangkatan Pj Kepala Daerah secara massif, keterlibatan pejabat negara, dan penggalangan kepala desa untuk memenangkan paslon 02," dalam persidangan di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin 1 April 2024.
Menurutnya, kesaksian ini menegaskan bahwa Pilpres 2024 tidak berjalan dengan jujur dan adil, dengan Prabowo-Gibran disebut menikmati keberpihakan dari Jokowi.
"Maka kemenangan paslon 02 dengan cara 'fraud' ini layak dianulir oleh MK," tegasnya.
Dalam penjelasannya, Djohermansyah menyoroti pengaruh besar yang dimiliki oleh kepala desa hingga Penjabat Kepala Daerah dalam menentukan pilihan pemilih, yang disebutnya cenderung dipengaruhi oleh orientasi paternalistik dan feodalistik, yang disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah.
"Maka, tak heran bila perolehan suara paslon 02 bisa melampaui ambang batas 50% lebih dalam sekali putaran," ujarnya.
BACA JUGA:Yusril Mempertanyakan Kapasitas Ahli yang Dibawa Tim Amin
Dia juga menegaskan bahwa keputusan pengangkatan Penjabat Kepala Daerah tidak transparan dan demokratis, yang ditegaskan oleh putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022.
Meski MK telah meminta pemerintah membuat peraturan pelaksanaan UU Pilkada yang transparan, akuntabel, dan demokratis.
"Tapi pemerintah Presiden Joko Widodo tidak menggubrisnya, dan hanya menerbitkan Permendagri Nomor 4 Tahun 2023," jelasnya.
Djohermansyah juga menyoroti keputusan pengangkatan Penjabat Kepala Daerah yang relatif tidak berubah setelah putusan MK, yang menurutnya menunjukkan keterkaitannya yang erat dengan kepentingan politik presiden.
Dia mengungkapkan bahwa Pj Kepala Daerah memiliki kewenangan untuk melakukan mutasi, yang menjadi senjata dalam mengatur arah dukungan para bawahannya, sehingga mempengaruhi netralitas dan penggunaan wewenang dalam membantu paslon tertentu. (Fajar Ilman)