Mengejutkannya lagi, pelaku mom shaming justru dari orang terdekat.
"Pelaku mom shaming berdasarkan hasil survei ini, menurut ibu respondeen, justru diterima dari lingkungan inti mereka, yaitu keluarga, kerabat, dan lingkungan tempat tinggal," paparnya.
Penelitian ini juga membuktikan anggapan bahwa media sosial sebagai kontributor mom shaming ternyata tidak sepenuhnya tepat dengan hanya 6 persen prevalensi.
BACA JUGA:Hadirkan Line Up Premium Matic, HPMD Sapa Warga Tangerang
BACA JUGA:Kesempatan Terakhir Daftar PPDB Jakarta 2024, Cek Jalur yang Masih Dibuka
Pasalnya, tempat kerja dan media sosial justru menjadi lingkungan dengan perlakuan mom shaming paling rendah dan protective factors tinggi.
Hal ini juga berkaitan dengan risiko ibu rumah tangga yang tidak bekerja lebih tinggi mengalami mom shaming.
"Ibu yang tidak bekerja 6 kali lebih besar untuk mengalami mom-shaming, dengan nilai statistik yang bermakna, yakni 85.2 persen," ungkapnya.
Akibat dari perlakuan mom shaming ini, tak jarang para ibu termakan oleh tuduhan tersebut dan mengubah pola pengasuhan anak mengikuti kata-kata para pelaku mom shaming.
Bahkan, hanya 23 persen dari ibu responden yang mengaku berani melawan dan menghindar dari perlakuan mom shaming.
BACA JUGA:Ronny Talapessy Ungkap 514 DPC PDIP Ajukan Gugatan PMH Terhadap Penyidik KPK ke PN Jaksel
BACA JUGA:Peringati HUT Polri, Ancol Gratiskan Tiket Wisata Selama 7 Hari untuk Polisi dan Keluarganya
Sebaliknya, ibu yang berani mendatangi ahli, seperti tenaga kesehatan dan psikolog hanya 11 persen.
Tim peneliti lantas menyimpulkan bahwa tingginya prevalensi mom shaming ini menandakan bahwa wilayah proteksi ibu kurang optimal.
Oleh karena itu, perlu adanya edukasi dan redefinisi konsep mom shaming yang memadai.
Selain itu, pihaknya mendesak pemerintah untuk meningkatkan cakupan tenaga konselor parenting bahkan psikolog di Puskesmas lebih merata.