Menyingkap Akar Politik Paternalistik di Indonesia: Sebuah Tantangan Bagi Demokrasi

Kamis 01-08-2024,13:53 WIB
Oleh: Antonius Benny Susetyo

Lembaga ini akan menilai dan memberikan sanksi kepada pejabat yang melanggar etika, meskipun pelanggaran tersebut mungkin ringan di mata hukum. Misalnya, tindakan pemimpin yang kasar atau tidak sopan mungkin tidak bisa dihukum berat secara hukum, tetapi bisa mendapatkan sanksi berat secara etika. Kita harus memiliki standar etika yang jelas dan tegas di semua tingkatan kepemimpinan. Presiden sebagai kepala negara tertinggi harus menjadi teladan dalam hal etika.

Jika pemimpin tertinggi saja tidak patuh pada etika, maka jangan harap para pejabat di bawahnya akan memiliki integritas. Sistem nilai yang objektif harus diterapkan, sehingga seseorang dipilih berdasarkan kemampuan dan rekam jejaknya, bukan karena kedekatan atau hubungan kekeluargaan.

BACA JUGA:Bakteri atau Virus: Kapan Perlu Antibiotik?

Implementasi meritokrasi di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Sistem politik yang paternalistik sering kali menjadi hambatan terbesar. Meskipun meritokrasi digagas dan dipromosikan, praktek di lapangan sering kali berbeda. Banyak jabatan penting masih diisi oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, bukan berdasarkan kemampuan dan prestasi. Selain itu, budaya patron-klien yang masih kuat dalam masyarakat kita juga menjadi tantangan.

Dalam sistem ini, hubungan antara pemimpin dan rakyat sering kali didasarkan pada kedekatan pribadi dan loyalitas, bukan pada kemampuan dan prestasi. Untuk mengatasi hal ini, kita perlu mengubah budaya politik dan sosial kita secara menyeluruh. 

Pendidikan memainkan peran penting dalam mengubah budaya politik dan sosial. Pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai etika, integritas, dan meritokrasi sejak dini. Generasi muda harus diajarkan untuk menghargai prestasi dan kemampuan, bukan kedekatan atau hubungan kekeluargaan.

Pendidikan juga harus menanamkan nilai-nilai demokrasi dan partisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencabik politik paternalistik, kita harus membangun ekosistem etika yang kuat. Ini termasuk memiliki lembaga-lembaga etik yang independen dan berwibawa, serta menegakkan standar etika di semua tingkatan kepemimpinan.

Pelanggaran etika harus mendapatkan sanksi yang tegas, baik sanksi sosial maupun sanksi formal. Hanya dengan demikian kita bisa memastikan bahwa etika dan integritas menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Masyarakat sipil juga memainkan peran penting dalam menjaga dan menegakkan etika. Masyarakat harus kritis dan aktif dalam mengawasi perilaku para pemimpin. Media massa, LSM, dan organisasi masyarakat harus berperan sebagai pengawas yang independen dan berani mengungkap pelanggaran etika.

Masyarakat juga harus diberikan ruang untuk menyampaikan kritik dan protes tanpa takut akan represali. Mencabik politik paternalistik dan membangun sistem meritokrasi yang berlandaskan etika dan integritas adalah langkah penting menuju demokrasi yang berkualitas. 

BACA JUGA:Sayyid Muthahar

Kita harus terus berjuang untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, di mana nilai-nilai Pancasila benar-benar menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, kita bisa menjaga dan memperkuat demokrasi kita, serta memastikan bahwa masa depan bangsa ini cerah dan penuh harapan.

Gotong-royong, kekeluargaan, dan toleransi merupakan nilai-nilai inti yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama. Namun, dalam prakteknya, nilai-nilai ini sering kali disalahgunakan untuk tujuan yang tidak mulia, seperti penyelewengan, nepotisme, dan pelanggaran etika.

Oleh karena itu, kita harus waspada dan berupaya untuk menjaga integritas nilai-nilai ini, memastikan bahwa mereka digunakan untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Gotong-royong dan kekeluargaan adalah dua nilai yang sangat dihargai dalam budaya Indonesia. 

Kekeluargaan mencerminkan ikatan emosional dan dukungan yang kuat antara anggota keluarga atau komunitas. Namun, kedua nilai ini dapat dengan mudah disalahgunakan. Gotong-royong, misalnya, bisa digunakan untuk melakukan penyelewengan ketika anggota masyarakat bekerja sama untuk melindungi tindakan korupsi atau nepotisme. Kekeluargaan bisa menjadi alasan untuk memberikan perlakuan istimewa kepada kerabat atau teman dekat, mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi dan keadilan.

Meritokrasi adalah sistem di mana individu diberi kesempatan dan posisi berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan berdasarkan hubungan kekeluargaan atau kedekatan dengan kekuasaan. Di Indonesia, implementasi meritokrasi masih menghadapi banyak tantangan.

Kategori :