Kementerian PPPA: 55 Persen Perempuan Indonesia Masih Sunat, Pelanggaran HAM Jadi Sorotan

Sabtu 28-09-2024,08:29 WIB
Reporter : Annisa Amalia Zahro
Editor : Subroto Dwi Nugroho

JAKARTA, DISWAY.ID -- Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilaksanakan 2021 mengungkapkan bahwa 55 persen anak perempuan usia 15-49 tahun di Indonesia masih menjalani sunat perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan). 

Bahkan, data UNICEF tahun 2015 menyebut, Indonesia masuk dalam tiga besar negara yang penduduknya masih menjalani praktek sunat perempuan.

Di mana, 200 juta anak perempuan di 30 negara melakukan P2GP atau sunat perempuan.

BACA JUGA:Semakin Berkembang, Kemenperin Ungkap Industri Halal Akan Topang Ekonomi Nasional

BACA JUGA:Ini Solusi Buat Pelamar CPNS 2024 Gagal Login karena Lupa Password Akun Simulasi CAT BKN

Menyoroti hal ini, Plt. Sekretaris Kementerian PPPA Titi Eko Rahayu menegaskan bahwa sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

"Sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan. Sunat perempuan termasuk tindak kekerasan karena berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan dapat mengakibatkan korban meninggal dunia,” ungkap Titi di Jakarta, dikutip 27 September 2024.

Sayangnya, praktik ini masih dijalankan secara turun temurun oleh masyarakat.

Titi mengungkapkan, terdapat beberapa faktor yang menyebabk maraknya praktik ini, salah satunya pemahaman atau tafsir agama dan budaya.

BACA JUGA:KPK Tahan Anggota DPRD Terkait Kasus Suap Program Bandung Smart City

BACA JUGA:Jelang 25 Hari Pemerintahannya Berakhir, Jokowi Sapa Pasien dan Keluarganya di RSUD dr. Abdul Rivai

Menurut data SPHPN 2021, tiga alasan terbanyak yang ditemukan mulai dari mengikuti perintah agama (68,1 persen); karena sebagian besar masyarakat di lingkungannya melakukannya (40,3 persen); alasan kesehatan seperti dianggap lebih menyuburkan (40,3 persen).

Padahal, lanjut Titi, pemotongan dan pelukaan yang membahayakan genital perempuan ini umumnya dilakukan sejak kecil.

“Perempuan tidak menyadari dampaknya hingga saat mereka tumbuh dewasa. Berbeda dengan khitan laki-laki yang memiliki standar prosedur khitan, praktek sunat perempuan sama sekali tidak memiliki standar prosedur pelaksanaan,” tegasnya.

 

Kategori :