JAKARTA, DISWAY.ID -- Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama (BPJPH) ungkapkan tidak ada perbedaan kriteria produk yang bisa mendapatkan sertifikat halal melalui self declare dan reguler oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Demikian menanggapi ramainya pembicaraan mengenai makanan dengan nama "beer", "wine", "tuak", hingga "tuyul" yang mendapatkan sertifikat halal.
Padahal menurut Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020, terdapat ketentuan yang produk halal tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika dan kepatutan yang berlaku di masyarakat.
BACA JUGA:LPPOM MUI Buka Suara Atas 32 Produk Halal Wine dan Beer: Salah Ketik, Harusnya Beef
Imbas hal ini, muncul narasi bahwa mekanisme pendaftaran produk halal terbaru melalui self declare menjadi penyebab lolosnya kata-kata tersebut.
Untuk diketahui, ketetapan halal produk melalui jalur self-declare tidak melalui Komisi Fatwa MUI, tetapi Komite Fatwa Produk Halal (KFPH).
"Nggak ada perbedaan, karena kedua komite itu mengacu kepada standar yang sama. Di antara standar itu ada SNI 99004:2021 dan ada Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020. Itu yang menjadi standar untuk mereka melakukan sidang-sidang untuk memutuskan kehalalan sebuah produk," tegas Kepala BPJPH Kemenag M Aqil Irham ketika ditemui Disway di Jakarta, 3 Oktober 2024.
Dalam Fatwa MUI tersebut memang diatur mengenai penamaan produk, namun bukan substansi terkait zat dan proses pembuatannya.
BACA JUGA:Viral! Wine hingga Tuyul Bersertifikat Halal, BPJPH Langsung Buka Suara, Bawa-bawa Fatwa MUI
Ia memahami apabila pelaku usaha membuat nama-nama aneh untuk menarik minat konsumen.
Namun, ia mengimbau agar pelaku usaha menyesuaikan nama produk yang sejalan dengan substansi dari makanan atau minuman tersebut.
"Itu yang diatur supaya nama-nama itu menyesuaikan dengan substansinya. Disamakan dengan zatnya. Disesuaikan dengan bahan baku, bahan tambahan, bahan campuran maupun proses produksinya itu. Sudah halal, namanya yang baiklah supaya mencerminkan kehalalannya," tuturnya.
Terkait perbedaan yang mengenai standar kata-kata yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan pengunaannya untuk mendapatkan sertifikat halal ini, menurutnya, karena tafsir masing-masing ulama.
"Dari sisi fatwa itu mereka, kalangan ulama, itu memutuskan dengan tafsir yang berbeda-beda. Persoalan nama-nama itu, misalnya ditoleransi, sehingga lolos. Oh nama ini nggak boleh, ini sudah terlalu parah, nggak dilolosin," imbuhnya.
BACA JUGA:Fashion Halal Jadi Tren, Ketahui Ragam Serat Alam Asli Indonesia