Infertilitas bisa dialami oleh perempuan maupun laki-laki.
“Pada perempuan, masalahnya bisa terletak pada organ genitalia, dan bisa juga secara sistemik misalnya kondisi hormon yang tidak seimbang,” jelas dr. Ervan.
BACA JUGA:Bromat Di AMDK lebih Bahaya dari BPA?
Infertilitas sendiri diartikan sebagai tidak terjadinya kehamilan setelah satu tahun menikah, dengan hubungan seksual rutin 2-3 kali seminggu, dan tanpa kontrasepsi.
“Pada perempuan, penyebab infertilitas 40% gangguan pada tuba fallopi dan panggul, 40% lagi disfungsi ovulasi, dan 10% yang tidak biasa misalnya autoimun,” ungkap dr. Ervan.
BACA JUGA:Le Minerale Klaim Bebas Kandungan BPA
Pada laki-laki, infertilitas berhubungan dengan gangguan sperma.
“Kualitas dan kuantitas sperma bisa terganggu karena pelebaran pembuluh darah atau varises pada testis (varikokel). Bisa pula karena ada gangguan pada pabrik sperma, dan disfungsi seksual,” papar dr. Ervan.
Ia menegaskan, yang telah terbukti bisa memicu infertilitas adalah rokok dan alkohol.
BACA JUGA:Alasan BPAD DKI Jakarta Buka Opsi Sewa Tanah Kampung Bayam Jika Alih Aset Ditolak
“Kausalitas antara rokok dan infertilitas sudah jelas, tapi banyak yang tetap merokok. Sedangkan pada BPA yang belum pasti, kita malah ketakutan,” imbuhnya.
Ia melanjutkan, BPOM telah menetapkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, yang mengatur persyaratan keamanan kemasan pangan termasuk batas maksimal migrasi BPA maksimal 0,6 bpj (600 mikrogram/kg) dari kemasan polikarbonat.
“Berdasarkan hasil pengawasan Badan POM terhadap kemasan galon AMDK yang terbuat dari Polikarbonat (PC) selama lima tahun terakhir, menunjukkan bahwa migrasi BPA di bawah 0,01 bpj (10 mikrogram/kg) atau masih dalam batas aman,” terang dr. Ervan.
BACA JUGA:Pernyataan Menohok YKI Tentang Iklan BPA Tidak Bebahaya: Dicurigai Penyebab Kanker
Cermat Menyikapi Isu agar Terhindar dari Misinformasi
Arus informasi yang begitu deras tak jarang membuat kita tenggelam dalam misinformasi. Ada banyak alasan mengapa orang suka membagikan informasi yang belum jelas kebenarannya.
Penelitian yang dilakukan oleh MIT menemukan, konten negatif lebih cepat menyebar dibandingkan konten positif, walaupun produksi konten positif lebih banyak.