Dia mengatakan, ketika pemerintah sudah memberi izin artinya ada hak menambang dan ada yang dirusak. Maka perlu reklamasi, tetapi bukan seperti semula hutan harus kembali jadi hutan lagi, bisa saja berubah menjadi lahan pertanian, perkebunan. atau reservoir air. Di sini perencanaan harus dilihat,” paparnya.
Perubahan bentuk reklamasi dapat berubah karena beberapa faktor, misalnya ada permintaan warga setempat atau sesuai kebutuhan pemerintah daerah setempat yang bermanfaat bagi penduduknya.
Negara Bertanggung Jawab Dampak Kerusakan Lingkungan
Ahli Manajemen Hutan Prof Dr Ir Sudarsono Soedomo MS MPPA saat diminta keterangan oleh majelis hakim PN Tipikor dalam kasus yang sama mengatakan, negara selaku pemberi IUP bertanggung jawab penuh atas dampak kerusakan lingkungan.
Menurutnya, penerbitan IUP oleh negara dalam hal ini pemerintah pusat sudah melalui proses analisis untung dan rugi. "Kerusakan akibat tambang menjadi tanggung jawab negara, sementara badan usaha hanya bertanggung jawab pada reklamasi," katanya.
Itu sebabnya, kata Sudarsono, semua pihak harus berhati-hati dalam menghitung dampak kerugian lingkungan yang ditimbulkan. "Menghitung nilai jasa-jasa ini tidaklah mudah.
Ketika ekosistem hutan diubah menjadi tambang, hilangnya tanah, kerusakan ekosistem akibat aktivitas tambang juga harus diperhitungkan dengan cermat," ujarnya.
Menurutnya, menghitung kerugian lingkungan sebaiknya menggunakan pendekatan ekonomi, karena istilah 'kerugian' memiliki konsekuensi hukum di Indonesia.
Caranya adalah dengan membandingkan kondisi awal dan akhir ekosistem, misalnya tahun 2018 ada kebun singkong dan karet dengan nilai jasa ekosistem tertentu maka setelah perubahan seperti tambang, nilai ekosistem dihitung ulang nilai akhirnya lebih kecil atau lebih besar jadi jangan disebut kerugian.