Sidang Kasus Korupsi Timah, Ahli Ekologi Ungkap Kekeliruan Perhitungan Kerugian Lingkungan

Sidang Kasus Korupsi Timah, Ahli Ekologi Ungkap Kekeliruan Perhitungan Kerugian Lingkungan

Sidang lanjutan kasus korupsi timah di PN Tipikor, Kamis 28 November 2024 kembali menghadirkan tiga saksi ahli kerusakan lingungan. -disway.id/ayu novita-

JAKARTA, DISWAY.ID- Ahli Ekologi dan Teknik Penghitungan Kerugian Lingkungan Hiduo, Dr Dadan Sudana Wijaya SE MIL mengungkapkan beberapa kekeliruan dalam penghitungan kerugian lingkungan dalam kasus dugaan korupsi timah.

Menurutnya, dalam kasus korupsi tata niaga timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun itu, perhitungan kerugian lingkungan dalam surat dakwaan terkait masalah air seharusnya menggunakan luasan.

Sementara dalam Permen Nomor 7 yang menjadi landasan dakwaan kasus perkara korupsi tata niaga timah tersebut seharusnya menggunakan kubikasi. “Setelah saya baca surat dakwaan yang berdasarkan Permen Nomor 7, saya melihat ada beberapa kekeliruan dalam penghitungan kerugian tersebut. Contoh masalah air, dalam penghitungan itu menggunakan ukuran luasan, sementara berdasarkan permen 7 seharusnya berdasarkan kubikasi,” tutur Dadan Sudana saat dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga timah dengan tersangka Tamron Cs di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 28 November 2024.

BACA JUGA:Pakar Hukum Sebut Kasus Korupsi Timah Lebih Tepat Masuk Ranah Administrasi UU Minerba dan Lingkungan Hidup

Tamron alias Aon masuk dalam daftar 22 tersangka dugaan korupsi penambangan timah di lokasi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Provinsi Bangka Belitung. Tamron merupakan pemilik CV Venus Inti Perkasa (VIP). 

Dadan menambahkan, terkait penghitungan penilaian tarif dan ganti rugi tata air kerugian negara dalam perkara tersebut menggunakan baku mutu PH 7-9 berdasarkan Permen Nomor 7, sementara nilai baku mutu di setiap daerah berbeda. 

“Misalkan soal menghitung nilai baku mutu air dengan PH 7 sampai 9, sementara baku mutu air di Bangka PH nya hanya 4. Ini yang seharusnya digali terlebih dahulu data-data nilai parameter yang ada di Bangka tidak bisa dimasukkan begitu saja,” ujar Dadan

Dadan juga menyatakan, dirinya tidak yakin terjadi kerusakan lingkungan dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah tersebut karena penambangan tidak menggunakan zat kimia apa pun. Sementaa limbah yang ada hanya berupa air cucian material dan limpasan air hujan.

“Apalagi KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) menyebutkan bahwa proper pertambangan PT Timah masuk proper biru, artinya sudah sangat baik. Sementara pada smelternya masuk kategori emas, yang artinya negara dalam hal ini KLHK mengakui bahwa pengolahan timahnya tak bermasalah. Kalau biru saja sudah tidak ada pelanggaran lingkungan apalagi dengan proper emas,” tambahnya.

BACA JUGA:Sidang Kasus Korupsi Timah, Saksi Ahli Sebut BPKP Tak Berhak Nilai Kerugian Negara

Sementara itu, Ahli Kerusakan dan Remediasi Tanah/Lahan, Dr Ir Gunawan Djajakirana, MSc Agr yang ikut dihadirkan dalam sidang tersebut menilai, penghitungan kerugian lingkungan harus ditangani ahli. Menurutnya, setiap ekosistem memiliki sifat berbeda sehingga tak bisa digeneralisasi.

“Misalnya, di satu tempat ada harimau, tentu parameter di tempat itu tak bisa diberlakukan sama di daerah lain. Apalagi, tanah punya klasifikasi sendiri-sendiri sesuai kondisi," ujar Gunawan.

Dia menyebutkan, untuk menghitung kerusakan tanah dengan luas 70.000 hektare tidak cukup hanya mengambil beberapa sampel karena ada perbedaan jenis tanah dan dan hal ini butuh ketelitian. “Jika hanya mengambil beberapa sampel  artinya hanya eksplorasi. Jika itu dilakukan pasti banyak kesalahan," katanya.

Berkaitan dengan kewajiban reklamasi dalam jangan waktu tertentu bagi pemegang IUP, Gunawan mengatakan, selama IUP masih berlaku dan belum dilakukan reklamasi bukanlah pelanggaran. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads