JAKARTA, DISWAY.ID-- Putusan vonis bebas Ryan Susanto alias Afung oleh Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Pangkalpinang dalam perkara korupsi timah bisa mempengaruhi putusan Pengadilan Tipikor di Jakarta terhadap terdakwa lain dalam menangani kasus sama.
Menurut Prof Romli Atmasasmita yang menjadi saksi ahli dalam kasus korupsi timah di PN Tipikor Jakarta beberapa waktu lalu, jika prinsip yang sama diterapkan dalam persidangan kasus tata niaga timah yang sedang berproses hukum di Jakarta, besar peluang besar bahwa pengadilan dapat mengambil putusan yang mengedepankan dan berpihak pada moral justice dan social justice.
Dia menambahkan, vonis terhadap Ryan Susanto berpotensi memengaruhi arah putusan kasus korupsi tumah di Jakarta, terutama dalam menentukan apakah kerugian akibat kerusakan lingkungan menjadi dasar dakwaan korupsi.
"Keputusan ini diharapkan dapat membuka ruang diskusi lebih luas tentang pentingnya pendekatan hukum yang tidak hanya berorientasi pada aturan formal, tetapi juga dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah putusan kasus tata niaga timah akan berujung sama dengan putusan bebas Ryan Susanto?" katanya di Jakarta, Senin 9 Desember 2024.
BACA JUGA:Harvey Moeis Tampil Perlente di Sidang Tuntutan Korupsi Timah, Sandra Dewi Tak Dampingi
Seperti diketahui terdakwa kasus tindak pidana korupsi tata niaga timah, Ryan Susanto alias Afung, divonis bebas oleh PN Tipiko) Pangkalpinang, Selasa 3 Desember 2024. Ryan didakwa atas dugaan tindak pidana korupsi terkait kegiatan pertambangan di kawasan Hutan Lindung Pantai Bubus, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, hingga merugikan negara mencapai Rp271 triliun.
Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim PN Tipikor Pangkalpinang, Dewi Sulistiarini menyatakan, Ryan Susanto tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair dan subsidair yang diajukan Jaksa Penuntut Umum.
“Kasus ini bukan tindak pidana korupsi, melainkan pidana lingkungan hidup terkait penambangan tanpa izin di kawasan hutan lindung. Seharusnya penuntut umum mendakwa berdasarkan undang-undang Lingkungan Hidup,” kata Dewi dalam pembacaan putusan.
Menurut Prof Romli, putusan bebas terhadap Ryan Susanto tersebut menarik perhatian publik, terutama karena ada kemiripan antara kasus Ryan dengan terdakwa lain yang juga terjerat dalam perkara dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk yang masih berlangsung di PN Tipikor Jakarta. Dalam kedua kasus, kerugian negara yang dihitung sebagian besar berasal dari perhitungan kerusakan lingkungan, yang dinilai tidak konkret dan pasti.
“Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara Tipikor. Hakim bebas mempertimbangkan, tetapi Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa kerugian harus konkret,” ucap Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) itu.
Prof Romli yang merupakan perumus Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara, hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara bukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Menurutnya, BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal untuk kementerian/lembaga pemerintah. Dasarnya pun hanya Peraturan Presiden. Untuk menghitung kerugian negara yang resmi, itu adalah tugas BPK.
“Perbuatan melawan hukum (PMH) mungkin ada di level direksi (PT Timah) dalam hal pelanggaran wewenang. Tapi kalau ke swasta, belum tentu, karena mereka memiliki perlindungan dalam kontrak perjanjian,” ujarnya.
Sementara Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin yang sekaligus pakar hukum pertambangan Prof. Dr. Ir Abrar Saleng, SH menyatakan bahwa jika terjadi pelanggaran dalam kasus tambang biasanya diselesaikan secara administrasi dan bukan secara pidana.