Penolakan akses ini menandai titik balik penting dalam hubungan Iran dengan pengawas nuklir global, memperdalam kekhawatiran internasional tentang program nuklir Teheran.
Diketahui, sebagai respons atas Operasi Rising Lion, Iran melancarkan Operasi True Promise III, membalas dengan lebih dari 400 rudal, termasuk rudal hipersonik Fattah, ke wilayah Israel.
Serangan balasan ini dilaporkan menewaskan sedikitnya 24 warga sipil Israel.
Meskipun Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan gencatan senjata pada 24 Juni 2025, situasi di lapangan masih sangat rapuh.
Hingga 28 Juni 2025, laporan mengenai serangan sporadis masih terus bermunculan, mengindikasikan bahwa kesepakatan tersebut belum sepenuhnya dihormati. Contoh terbaru adalah serangan Israel terhadap instalasi radar Iran, yang kemudian dibalas Iran dengan serangan ke Beersheba, Israel, menewaskan 3 orang.
Sementara langkah Iran untuk menolak inspeksi dan menangguhkan kerja sama dengan IAEA, menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan negara-negara Barat dan pengamat internasional.
BACA JUGA:Bentrok Timnas Indonesia U-23 vs Malaysia, Derby ASEAN Libatkan Suporter ke-12 Musuh Bebuyutan
Tanpa inspeksi yang transparan, akan semakin sulit untuk memverifikasi tingkat aktivitas nuklir Iran dan memastikan kepatuhannya terhadap perjanjian non-proliferasi. Hal ini berpotensi memperparah ketegangan dan memperkecil peluang solusi diplomatik.
Dunia kini menanti, bagaimana komunitas internasional akan merespons penolakan Iran ini, dan apakah gencatan senjata yang rapuh ini dapat bertahan di tengah gejolak yang terus berlanjut.
Situasi di Timur Tengah, dengan program nuklir Iran sebagai salah satu intinya, tetap menjadi salah satu isu paling volatil di kancah global.