JAKARTA, DISWAY.ID-- Setelah resmi dilantik menjadi Menteri Keuangan (Menkeu) yang baru menggantikan Sri Mulyani Indrawati, Purbaya Yudhi Sadewa kini telah siap memulai terobosan terbarunya dalam dunia perekonomian.
Dalam hal ini, Menkeu Purbaya dikabarkan menggelontorkan kas negara sebesar Rp 200 triliun ke sistem perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
BACA JUGA:Penelitian Buktikan Khasiat Konsumsi Kayu Manis dan Manfaatnya untuk Gula Darah
Diketahui, langkah ini sendiri bertujuan untuk menjaga ketebalan likuiditas di sektor keuangan Indonesia.
“Saya sudah minta ke Bank Sentral untuk jangan diserap uangnya, nanti mereka juga akan mendukung. Artinya ekonomi akan bisa hidup lagi,” tutur Menkeu Purbaya kepada awak media di Jakarta, pada Selasa 9 September 2025.
Dengan diterapkannya kebijakan ini, beberapa Pengamat Ekonomi serta Tim Analis juga memprediksi bahwa keputusan ini juga akan membawa sejumlah dampak yang signifikan kepada pasar saham dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke depannya.
Dalam hal ini, Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Arjwani menilai bahwa langkah Menkeu Purbaya ini akan membawa sentimen positif kepada pasar saham.
BACA JUGA:Paparkan Peta Jalan, Pertamina Perkuat Peran Strategis Sediakan Layanan Energi Bagi Masyarakat
BACA JUGA:PNM Dorong Kreativitas Nasabah Lewat Anyaman Limbah Plastik Bernilai Jual
“Jelas dampaknya positif karena menjadi sentimen positif untuk pasar,” ujar Arjun ketika dihubungi oleh Disway, pada Jumat 12 September 2025.
Lebih lanjut, Arjun juga menambahkan bahwa usai Menkeu Purbaya resmi mengumumkan pengucuran dana sebanyak Rp 20p triliun tersebut, sentimen IHSG sejak kemarin dan hari ini juga sukses menunjukkan penguatan yang positif.
“Pasar naik kemarin dan hari ini setelah rilis beritanya,” ucap Arjun.
Di sisi lain, Chief Economist, Macro Strategist and Head of Fixed Income Research BRI Danareksa Sekuritas (BRIDS) Helmy Kristanto juga turut menyampaikan bahwa dengan resminya Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menkeu yang baru, maka hal tersebut juga akan berpotensi untuk membawa kesinambungan kebijakan, namun dengan fokus pro-growth yang lebih kuat.
“Kebijakan awalnya akan sangat menentukan kecepatan penerimaan pasar,” ucap Helmy.