Selain itu, maintenance therapy kini telah menjadi bagian integral dari pengobatan kanker ovarium stadium lanjut dan sudah direkomendasikan sebagai standar perawatan oleh pedoman internasional tersebut.
Sekitar 50% pasien kanker ovarium stadium lanjut sendiri memiliki status HRD-positif, termasuk yang tidak memiliki mutasi BRCA.
HRD adalah kondisi dimana tubuh tidak dapat memperbaiki kerusakan pada DNA, dan menjadi penanda biologis (biomarker) penting untuk menentukan apakah kelayakan pasien menjalani maintenance therapy berbasis PARP (Poly ADP-Ribose Polymerase) inhibitor seperti Olaparib.
Adapun, terdapat data klinis yang mendukung pentingnya terapi lanjutan ini.
Studi PAOLA-1 menunjukkan pasien HRD-positif yang menjalani maintenance therapy dengan Olaparib dan Bevacizumab memiliki masa bebas penyakit hingga 37 bulan, hampir dua kali lebih lama dibanding terapi dengan Bevacizumab saja.
BACA JUGA:Soroti Kasus Keracunan Massal MBG, Dekan FK UI: Bisa Picu Kanker Usus Besar
Sementara itu, studi SOLO-1 membuktikan bahwa pasien dengan mutasi BRCA yang menggunakan Olaparib memiliki risiko progresi 70% lebih rendah, dan hampir setengahnya tetap dalam remisi setelah lima tahun.
Dengan pemahaman lebih baik mengenai peran pemeriksaan HRD serta pemanfaatan maintenance therapy, akan lebih banyak pasien kanker ovarium dapat memperpanjang masa bebas penyakit dan meraih kualitas hidup yang lebih baik.
“Akses terhadap pemeriksaan HRD dan maintenance therapy bagi pasien kanker ovarium di Indonesia sangat penting. Data klinis global telah membuktikan manfaat signifikan terapi ini dalam memperpanjang masa bebas penyakit. Kami berharap lebih banyak pasien di Indonesia dapat memperoleh manfaat dari maintenance therapy, sehingga kualitas hidup mereka semakin baik,” kata dr. Feddy, Medical Director AstraZeneca Indonesia.