Menyulam Martabat di Tepi Tembok Kampus: Evolusi Gerakan Kampung Lingkar Kampus Universitas Brawijaya

Selasa 07-10-2025,11:32 WIB
Oleh: Dr Redy Eko Prastyo SPsi MIKom

Di satu sisi tembok beton yang menjulang, terdengar kesunyian perpustakaan dan diskusi-diskusi intelektual di ruang ber-AC Universitas Brawijaya. Ia adalah sebuah episentrum kemajuan, sebuah "kota di dalam kota" yang berdenyut dengan energi dari puluhan ribu mahasiswa dan dinamika keilmuan yang tak pernah henti. Dalam perannya, UB berfungsi sebagai kanal lokomotif dalam menyambut modernitas; sebuah ekosistem mandiri yang memproduksi pengetahuan, inovasi, dan sumber daya manusia unggul.

Namun di sisi lain, hanya beberapa meter darinya, udara dipenuhi riuh tawa anak-anak yang bermain di gang sempit, aroma masakan dari dapur-dapur terbuka, dan alunan musik yang mengalir dari sebuah warung. Inilah dua dunia yang hidup berdampingan, di mana denyut nadi kampung-kampung kota berdetak. Cikal bakal dari gerakan ini adalah Kampung Cempluk, sebuah komunitas yang secara unik berlokasi di Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, tepatnya berhimpitan langsung dengan kawasan Kampus UB Dieng. Kampung ini menyimpan memori kolektif yang kuat; namanya lahir dari masa ketika lampu minyak cempluk menjadi satu-satunya sumber penerangan, sebuah penanda fisik dari keterisolasian yang kemudian menjelma menjadi stigma sosial.


Pelaksanaan Festival Kampung Cempluk saat pandemi. -UB-

Di antara dua dunia ini—kampus sebagai simbol kemajuan dan kampung sebagai kantong tradisi—berdiri sebuah tembok. Secara fisik, ia adalah benteng beton masif yang membatasi lahan. Namun, secara metaforis, ia adalah tembok sosial, ekonomi, dan imajinasi yang selama bertahun-tahun memelihara jarak. Di sinilah letak sebuah paradoks fundamental: sebuah institusi pendidikan yang berada di jantung Malang sebagai "Kota Perjumpaan"—rumah bagi lebih dari 50 perguruan tinggi dan inkubator SDM nasional—namun terasing dari perjumpaan paling esensial dengan tetangganya sendiri. Dari kesadaran akan paradoks inilah Program Kampung Lingkar Kampus (KLK) lahir. Ia lahir dari keyakinan bahwa "tidak mungkin Indonesia berdiri kokoh, jika kampung-kampung di Indonesia tidak stabil," dan hadir bukan sebagai proyek pengabdian, melainkan sebagai sebuah gerakan strategis untuk menyulam kembali tenun kehidupan yang robek.

Akar Gerakan: Dekonstruksi Stigma Melalui Martabat Budaya

Gerakan KLK tidak lahir dari ruang hampa. Akarnya tertanam dalam perjuangan panjang Kampung Cempluk melawan stigma "udik" dan tertinggal, sebuah konstruksi sosial yang dianalisis oleh Berger & Luckmann (1990). Alih-alih pasrah, warga Kampung Cempluk, sebagai agen sosial dalam kerangka Giddens (1984), memilih budaya sebagai senjata mereka. Melalui Festival Kampung Cempluk yang legendaris, mereka mempraktikkan apa yang kini dikenal sebagai "Commoning Strategy". Seperti dianalisis oleh Redy Eko Prastyo (2024), commoning adalah strategi pengelolaan sumber daya kolektif. Intinya, strategi ini adalah sebuah mesin untuk membangun modal sosial—jaringan, kepercayaan, dan solidaritas yang memungkinkan komunitas bertindak kolektif (Putnam, 2000). Dengan memperkuat modal sosial, dekonstruksi stigma yang sejati dapat terjadi.

Katalisator Krisis dan Lahirnya Kemitraan Strategis

Jika Kampung Cempluk adalah percikan apinya, maka pandemi COVID-19 adalah angin yang membuatnya berkobar menjadi gerakan yang lebih besar. Saat krisis melanda, Universitas Brawijaya turun tangan menginisiasi gerakan "Kampung Tangguh" di seluruh Malang Raya. Pengalaman ini menjadi laboratorium nyata yang membuktikan efektivitas mobilisasi modal sosial. Dari sini, sebuah pertanyaan strategis muncul: jika sinergi ini mampu membangun ketangguhan reaktif saat krisis, mengapa tidak membangun sebuah sistem permanen untuk kesejahteraan proaktif?

Dari sanalah konsep "Social Security Belt" atau Sabuk Pengaman Sosial mengemuka sebagai visi strategis Program KLK. Konsep ini adalah upaya menerjemahkan tesis "stabilitas kampung adalah stabilitas bangsa" ke dalam model aplikatif. Ia menciptakan zona penyangga dinamis di lingkar kampus, di mana kemajuan warga dan keamanan institusi saling memperkuat melalui tiga pilar: stabilitas ekonomi, resiliensi sosial, dan afirmasi identitas kultural.


Matrik Kampung Lingkar Universitas Brawijaya, Malang.-UB-

Titik Temu Sinergis: Kemitraan di 'Dapur Bersama'

Di satu sisi, sebuah institusi besar sedang menyusun strategi di ruang rapatnya untuk menjawab tantangan global bernama SDGs. Di sisi lain, sebuah komunitas di gang-gang sempit sedang merumuskan kebutuhannya di balai RW. Keduanya, tanpa sadar, sedang berjalan menuju titik temu yang sama. Dan titik temu itulah yang menjadi keajaiban Program KLK. Kemitraan ini bukan lagi program 'top-down' di mana universitas datang sebagai 'ahli'. Ia menjelma menjadi sebuah 'dapur bersama', tempat di mana resep-resep ilmiah dari para profesor berpadu dengan bumbu-bumbu kearifan lokal dari ibu-ibu PKK. Mereka memasak solusi bersama, sebuah proses yang dalam dunia akademis disebut ko-produksi pengetahuan (Putra & Lee, 2022). Hasilnya, 'hidangan' program yang disajikan tidak hanya bergizi secara keilmuan, tetapi juga pas di lidah dan sesuai dengan selera komunitas, mewujudkan SDG 17: Partnerships for the Goals secara sempurna.


Partisipasi mahasiswa asing UB di Festival Kampung Budoyo Ketawang Gede 2025-FOTO: UB Malang-

Aksi di Lapangan: Lumbung Kebudayaan sebagai Jantung Ekosistem

Aksi di lapangan adalah manifestasi dari "Commoning Strategy". Hasil paling signifikan dari strategi ini adalah terbentuknya apa yang disebut Prastyo (2024) sebagai "Lumbung Kebudayaan". Ini adalah wujud nyata dari akumulasi modal sosial; sebuah aset komunal yang terdiri dari kepercayaan, keterampilan, dan jaringan sosial yang kuat. Festival Budaya tahunan adalah momen panen raya dari lumbung ini. Penelitian Prastyo et al. (2025) memberikan bukti kuantitatif atas keberhasilan ini, menunjukkan bahwa manajemen acara (event management) yang berbasis gotong royong secara langsung mendorong praktik pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Studi tersebut juga menemukan bahwa pariwisata berkelanjutan ini bertindak sebagai variabel mediasi krusial yang pada akhirnya memperkuat citra positif kampung (destination branding). Ini adalah validasi ilmiah dari apa yang telah dipraktikkan warga. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pegiat senior Kampung Cempluk, "Festival ini bukan sekadar acara. Ini adalah hari raya kebudayaan kami, momen di mana kami merasa paling menjadi diri sendiri, paling bangga sebagai orang kampung."

Kategori :