Menghidupkan Spirit Pancasila

Selasa 07-10-2025,16:17 WIB
Oleh: Reza Permana

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan meminta kita merawat nalar musyawarah: mendengar, menimbang, memutus.

Demokrasi tanpa hikmah akan berujung pada kekerasan angka—menang karena mayoritas, bukan karena argumen. Demokrasi yang berhikmah justru menguatkan minoritas, memastikan keputusan lahir dari deliberasi.

Di lingkungan akademik, budaya senat dan forum-forum etik dapat menjadi laboratorium musyawarah yang mencerminkan sila keempat dalam skala mikro.

BACA JUGA:Greta Thunberg: Kejahatan Israel Fakta, Mereka Membiarkan Kami Kelaparan di Penjara!

BACA JUGA:Pelesir ke Desa Patawang, Menikmati Agrowisata Hijau di Jantung Sumba Timur

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah ujung dari semua sila. Ukuran akhirnya: berapa banyak yang terangkat dari kemiskinan, berapa luas akses setara terhadap pendidikan dan kesehatan, seberapa aman warga dari kekerasan dan kelaparan.

Kebijakan publik harus diuji dengan pertanyaan moral: siapa yang paling lemah, dan apakah kebijakan ini nyata-nyata membela mereka? Ini termaktub dalam amanat Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jalan Sunyi yang Teguh: Peran Kampus dan Kepemimpinan yang Teduh

Sebagai rektor, saya belajar bahwa memimpin kampus itu seperti menenun yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran: benang-benang iman, ilmu, dan amal harus disatukan dengan sabar.

Kampus keagamaan negeri memiliki misi mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan nilai spiritual—agar lahir sarjana intelektual sekaligus cendikiawan yang piawai secara teknis dan matang secara etik.

Inilah kontribusi nyata untuk Pancasila: menghadirkan lulusan yang mampu mengambil keputusan berbasis data, dijiwai adab, dan peka terhadap keadilan.

Ada beberapa ikhtiar praktis yang dapat ditempuh: Pertama, membangun ekologi adab. Kita sering rajin berdebat tentang “apa yang benar” tetapi lalai pada “bagaimana mengatakan yang benar”.

Adab adalah cara: disiplin akademik, jujur ilmiah (anti-plagiasi), berbahasa santun, dan memperlakukan lawan diskusi sebagai sesama pencari kebenaran. Adab yang dirawat melahirkan watak intelektual yang rendah hati—dan rendah hati adalah kawan dekat kebenaran.

BACA JUGA:Cara Beli iPhone 17 Pro Max di Indonesia, Segini Perkiraan Harganya

BACA JUGA:Raih Saldo DANA Gratis hingga Rp192.000 ke Nomor HP Kamu, Cair dari Aplikasi Penghasil Uang Populer

Kedua, mengarusutamakan riset dan pengabdian yang memihak kemaslahatan. Keadilan sosial menghendaki inovasi yang menjangkau seluruh lapisan: teknologi tepat guna untuk UMKM, literasi digital untuk desa, tata kelola masjid yang akuntabel, kurikulum karakter yang kontekstual.

Kampus harus menjadi mitra pemerintah dan masyarakat sipil dalam merancang kebijakan berbasis bukti. Di sini, sinergi dengan lembaga-lembaga pembinaan Pancasila dan kementerian menjadi penting, agar lokakarya nilai tidak berhenti pada spanduk dan seminar, tetapi menembus kurikulum, modul, dan praktik keseharian.

Kategori :