Menghidupkan Spirit Pancasila

Selasa 07-10-2025,16:17 WIB
Oleh: Reza Permana

Pada level institusional di masa ini, negara membentuk BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) untuk merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melakukan koordinasi dan standardisasi pendidikan serta pelatihan, dan memberi rekomendasi atas kebijakan yang berpotensi mereduksi nilai-nilai Pancasila.

Tugas ini strategis, sebab pembinaan ideologi tidak bisa diserahkan pada spontanitas pasar gagasan; ia butuh orkestrasi kebijakan publik yang berkesinambungan.

Sebagai lembaga pemerintah non-kementerian, BPIP membantu Presiden merumuskan kebijakan ideologi Pancasila, melakukan koordinasi, sinkronisasi, pengendalian pembinaan, serta menetapkan standar pendidikan dan pelatihan Pancasila di semua tingkatan.

Dalam Peraturan BPIP Nomor 1 Tahun 2018 disebutkan bahwa tugasnya meliputi penyusunan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi atas regulasi yang bertentangan dengan Pancasila. 

BACA JUGA:Diskon Tiket dan Bansos Pangan Sambut Natal-Tahun Baru, Paket Ekonomi 2025 dari Pemerintah

BACA JUGA:Dualisme PPP Berakhir Islah, Romahurmuziy Minta Tak Ada Pihak Saling Gugat

Menerjemahkan Nilai: Dari Teks ke Laku

Kita sering berhenti pada teks. Padahal Pancasila harus hadir dalam laku—cara negara bekerja dan cara warga hidup bersama. Bagaimana menerjemahkannya?

Ketuhanan yang Maha Esa menuntut kita membangun ruang publik yang ramah iman sekaligus berkeadaban. Negara melindungi kebebasan beragama, sementara warga menghayati iman tanpa menistakan.

“Bertuhan secara kebudayaan” berarti mempraktikkan agama dengan kesadaran adab, yakni hormat pada martabat manusia dan kebinekaan. Di sini, perguruan tinggi keagamaan punya peran unik: menghubungkan dalil dengan data, kitab dengan realitas, doktrin dengan dialog.

Kemanusiaan yang adil dan beradab mengajarkan etika kebijakan dan etika kehidupan. Dalam kebijakan, ia mengoreksi teknikalisme yang melupakan manusia—misalnya, program pangan, kesehatan, atau digitalisasi birokrasi yang harus mempermudah yang lemah, bukan hanya yang sudah kuat.

Dalam kehidupan sosial, ia menolak normalisasi perundungan dan ujaran kebencian. Ukurannya sederhana: apakah tindakan kita memuliakan martabat orang lain atau merendahkannya.

BACA JUGA:Jadi Minuman Favorit Gen Z, Ini 5 Manfaat Konsumsi Matcha untuk Kesehatan!

BACA JUGA:Kumpulan Prompt AI Edit Foto Jadi Cover Album Ala Penyanyi Idola, Tinggal Copy-Paste

Persatuan Indonesia membangun keadaban bersatu walaupun dalam keragaman. Persatuan adalah kemampuan menata konflik secara dewasa.

Dalam masyarakat digital yang rapuh oleh disinformasi, menjaga persatuan berarti memperkuat literasi—bukan hanya literasi baca tulis, melainkan literasi batin: menahan diri, menyimak sebelum membalas, memverifikasi sebelum membagi.

Di kampus, kita perlu menyiapkan ruang dialog kritis yang aman, sehingga perbedaan menjadi energi pembelajaran, bukan alasan pengucilan.

Kategori :