Menakar Ruang Fiskal Daerah di Tengah Penurunan Transfer dan Peningkatan Beban ASN

Kamis 30-10-2025,10:21 WIB
Oleh: Jeffri Minton Gultom

Kolaborasi lintas wilayah juga dapat memperkuat posisi tawar daerah dalam menarik investasi swasta maupun dukungan pemerintah pusat.

Reformasi Fiskal Jangka Menengah

Dalam jangka menengah, reformasi fiskal daerah tidak cukup hanya di tingkat teknis anggaran. Diperlukan perubahan struktural dan kelembagaan. Pemerintah daerah harus membangun kerangka fiskal menengah (Medium-Term Fiscal Framework) yang selaras dengan kebijakan fiskal nasional.

Dengan kerangka ini, perencanaan keuangan tidak hanya bersifat tahunan, tetapi dapat digunakan secara lintas tahun dengan memperhitungkan siklus fiskal, kebutuhan layanan dasar, dan kemampuan pendapatan daerah.

Selain itu, penguatan kapasitas kelembagaan menjadi kunci. BPKAD, Bappeda, dan Inspektorat perlu memiliki kemampuan analisis fiskal, manajemen risiko, dan evaluasi kinerja anggaran. Tanpa itu, kebijakan efisiensi hanya akan berhenti di tingkat administratif, bukan strategis.

Pemerintah pusat juga dapat berperan dengan mendorong insentif fiskal berbasis kinerja, yaitu memberikan tambahan dana bagi daerah yang mampu menunjukkan efisiensi, inovasi PAD, dan tata kelola keuangan yang akuntabel. Skema ini tidak hanya mendorong kinerja, tetapi juga menumbuhkan rasa tanggung jawab fiskal.

BACA JUGA:Liburan Akhir Tahun di Jogja? Ini 3 Rekomendasi Tujuan Wisata dari Gunung hingga Hembusan Pantai

BACA JUGA:Modal HP! Saldo DANA Gratis Rp234.000 Langsung Cair ke Dompet Digital, Klaimnya Pakai Aplikasi Penghasil Uang

Momentum Menuju Kemandirian Fiskal

Penurunan transfer pusat seharusnya tidak dilihat hanya sebagai ancaman, tetapi sebagai momentum untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah. Daerah yang adaptif akan memanfaatkan situasi ini untuk berinovasi dalam pendapatan, memperbaiki struktur belanja, dan memperkuat kolaborasi lintas sektor.

Sebaliknya, daerah yang tetap bergantung pada transfer pusat tanpa melakukan reformasi akan menghadapi risiko stagnasi pembangunan dan tekanan fiskal berkelanjutan.

Ruang fiskal memang menyempit, tetapi kesempatan untuk memperkuat tata kelola justru terbuka lebar. Dengan keberanian untuk berubah, disiplin fiskal yang baik, dan kemauan untuk memperkuat sinergi pusat-daerah, pemerintah daerah tetap bisa menjadi lokomotif pembangunan ekonomi nasional di tengah keterbatasan anggaran.

Dari Ketergantungan Menuju Ketahanan

Menakar ruang fiskal daerah sejatinya bukan sekadar persoalan angka dalam lembaran APBD. Hal ini tentang bagaimana pemerintah daerah mampu menjaga keseimbangan antara keberlanjutan fiskal dan keberpihakan terhadap rakyat.

Dalam konteks ini, anggaran publik tidak boleh berhenti sebagai alat administratif, melainkan harus menjadi instrumen kebijakan yang mampu menjawab tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan di tingkat daerah.

Keterbatasan fiskal seharusnya tidak selalu dimaknai sebagai hambatan, melainkan sebagai ruang inovasi baru. Di tengah penurunan Transfer ke Daerah (TKD) dan meningkatnya tekanan belanja pegawai, justru di sanalah kesempatan bagi pemerintah daerah untuk belajar menjadi lebih efisien, adaptif, dan kolaboratif.

Daerah yang cerdas fiskal tidak hanya menunggu kucuran dana pusat, tetapi mampu menciptakan nilai tambah dari potensi lokal yang dimilikinya, baik melalui optimalisasi aset, penguatan ekonomi rakyat, maupun kerja sama lintas sektor.

Transformasi menuju ketahanan fiskal daerah menuntut perubahan paradigma yang selama ini dijalankan, yaitu dari pola pikir ketergantungan menuju kemandirian, dari orientasi serapan menuju orientasi hasil, serta dari sekadar kepatuhan administratif menuju akuntabilitas berbasis kinerja.

Pada akhirnya, kemandirian fiskal tidak hanya diukur dari besarnya PAD yang dikumpulkan, tetapi dari seberapa efesien dan efektif anggaran itu dikelola untuk menghadirkan manfaat nyata bagi masyarakat, mulai dari pelayanan publik yang lebih berkualitas, infrastruktur yang lebih merata, hingga pengurangan kemiskinan yang terukur.

Kategori :