Ia mencontohkan kasus di Jawa Tengah, di mana korban bullying yang sudah tidak tahan akhirnya menusuk pelaku hingga menimbulkan perkara baru.
"Kekerasan tidak boleh dilawan dengan kekerasan. Yang penting adalah pendampingan teman, guru, dan lingkungan harus jadi pelindung," ujarnya.
Ia juga mengajak sekolah membangun kolaborasi antara pelaku dan korban untuk memulihkan relasi.
"Kadang pelaku baru sadar ketika korban menunjukkan kebaikan. Itu merubah cara pandang mereka. Kita Harus Berani Merevolusi Sistem Pendidikan," ucapnya.
Kasus Bullying di Lingkungan Sekolah Makin Marak
Walaupun ditujukan sebagai tempat untuk menimba ilmu, kasus perundungan atau bullying justru malah marak ditemui di sekolah-sekolah Dasar dan Menengah di Indonesia.
Bahkan menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum, dalam kurun waktu tahun 2020 hingga tahun 2024 ini, fenomena bullying juga justru mengalami peningkatan, dan kerap kali ditemui oleh para pelajar di Indonesia.
Selain itu dilansir dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kasus kekerasan terhadap anak meningkat tajam pada tahun 2024 dengan kenaikan lebih dari 100 persen dibanding tahun 2023.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 31 persen kasus diketahui merupakan kasus perundungan, yang banyak terjadi di satuan pendidikan mulai dari tingkat menengah hingga perguruan tinggi.
Bahkan menurut Komisioner KPAI Bidang Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi, Aris Adi Laksono, fenomena bullying ini sekarang tidak hanya terjadi di dunia nyata saja, namun juga sudah merambat ke ranah online, contohnya seperti di media sosial
“Perundungan di platform digital tampak sepele, tetapi dampaknya luar biasa,” ucap Aris kepada media, pada Sabtu 29 November 2025.
Bahaya Sikap Impulsif Remaja Dalam Ranah Anonimitas Digital
Sebelumnya, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) juga turut menyoroti peran fungsi kognitif remaja Indonesia pada sikap agresif dan impulsif pada pelaku bullying
Dalam hal ini, perhimpunan PDSKJI menemukan bahwa aspek daya pikir dan pengambilan keputusan anak usia remaja di Indonesia sendiri masih berada dalam tahap pengembangan, sehingga terbilang rendah. Sehingga, bisa dibilang anak usia remaja masih kesulitan dalam mengontrol emosi.
“Akses anak-anak terhadap dunia luar lebih besar. Mereka terus memerlukan pengawasan agar paparan sesuai dengan usianya,” ujar Psikolog Klinis Dewasa dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), Rini Hapsari Santosa, ketika dihubungi oleh Disway, pada Jumat 28 November 2025.
Salah satu hal yang perlu pengawasan tersebut, Rini menambahkan, adalah peran penggunaan ranah digital oleh anak usia remaja.