Tren Kasus ABH: Kenakalan Remaja atau Korban Bullying?

Selasa 02-12-2025,07:36 WIB
Editor : M. Ichsan

Terobosan pertama yang akan digalakkan adalah "Sertifikasi Pra-Nikah Anti-Kekerasan" yang terintegrasi dengan institusi agama dan sipil.

 1. Pendidikan Pra-Nikah Wajib: Setiap calon pengantin akan diwajibkan mengikuti modul edukasi yang fokus pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), komunikasi non-kekerasan, dan konsep consent (persetujuan) dalam hubungan intim.

Tujuannya adalah memastikan pasangan memahami bahwa kekerasan, dalam bentuk apapun, adalah tindak pidana serius.

 2. Edukasi Seksualitas Positif: Program akan diperluas ke lingkungan RT/RW melalui program "Keluarga Tanggap Kekerasan", mengajarkan orang tua dan anak tentang batas tubuh, safe-touch, dan keberanian untuk bersuara jika ada anggota keluarga atau kerabat yang melanggar batas.

Pilar II: Intervensi Multi-Dimensi dan Pemulihan Ekonomi

Salah satu mata rantai kekerasan adalah ketergantungan ekonomi yang membuat korban sulit keluar dari situasi yang mengancam. KemenPPPA akan menguatkan dua aspek krusial:

 1. Penguatan Ekonomi Korban: Melalui kolaborasi dengan UMKM dan lembaga keuangan mikro, KemenPPPA akan memberikan pelatihan keterampilan dan modal usaha cepat bagi perempuan korban kekerasan. 

Pemberdayaan ekonomi ini diharapkan memberikan kemandirian dan daya tawar bagi korban untuk memutuskan hubungan dengan pelaku.

 1. Manajemen Kasus Berbasis Komunitas: KemenPPPA akan mengaktifkan kembali peran Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di tingkat desa/kelurahan. 

Tim ini akan melakukan asesmen risiko dini di lingkungan yang terdeteksi rentan dan menyediakan psikolog serta pekerja sosial untuk intervensi krisis di lokasi.

"Rumah seharusnya menjadi ruang paling aman, bukan tempat di mana kekerasan disembunyikan. Program ‘Mata Rantai Zero’ ini adalah langkah tegas kami untuk mengintervensi dari hulu, menguatkan fondasi keluarga sebagai benteng pertahanan utama," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Irjen Pol (Purn) Desy Andriani, Jumat 28 November 2025.

Pilar III: Penegasan Hukum dan Pelaporan Cepat

Meskipun ranah rumah tangga bersifat privat, KemenPPPA menegaskan bahwa kekerasan seksual bukanlah urusan privat. Untuk memastikan pelaku mendapat efek jera dan korban berani melapor, langkahnya meliputi:

 1. Akselerasi Implementasi UU TPKS: KemenPPPA akan berkoordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) di tingkat daerah untuk mempercepat sosialisasi dan implementasi UU TPKS, memastikan penanganan kasus di tingkat rumah tangga tidak diakhiri dengan mediasi atau perdamaian tanpa mempertimbangkan kepentingan terbaik korban, khususnya anak.

 2. Optimalisasi SAPA 129: Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 akan dijadikan titik kumpul laporan nasional, memastikan setiap laporan kekerasan di rumah tangga ditindaklanjuti secara cepat, rahasia, dan terintegrasi dengan layanan psikologis, hukum, dan penampungan.

Langkah-langkah terobosan ini diharapkan dapat menciptakan pergeseran budaya di mana keluarga menjadi unit pertama yang menolak dan melawan kekerasan, serta menghilangkan stigma yang selama ini membelenggu korban untuk bersuara.*

Kategori :