BEBERAPA hari terakhir, Sumatera Barat dan Aceh masih berduka. Bukan semata karena hujan yang lebat—sebuah dalih alamiah yang klise—melainkan oleh pemandangan yang merobek nurani di media sosial: pohon-pohon raksasa tumbang, tergolek tak berdaya diseret alat-alat berat, dan gajah-gajah, satwa megah penjaga rimba, meluapkan amarah pada mesin-mesin baja itu.
Pemandangan hutan yang hijau lestari, dalam sekejap mata, berubah menjadi tanah coklat berlumpur yang kerontang. Maka mungkin ini bukan sekadar bencana alam, kata para ahli, ini adalah bencana ekologis; sebuah tragedi yang ditulis tangan manusia sendiri, dengan tinta kerakusan dan abai.
Air bah dan longsor adalah kurir yang jujur, mereka membawa pesan tentang hulu sungai yang telah kehilangan fungsi hidrologisnya, tak mampu lagi menahan air karena tutupan hutan lenyap. Di balik setiap meter kubik lumpur yang menimbun desa, ada jejak ribuan hektare hutan yang hilang, baik akibat konversi lahan maupun penebangan liar yang terselubung legalisasi.
BACA JUGA:Polemik PBNU: Pelanggaran Berat, Bukan Perselisihan
Dalam tradisi keislaman, ada khazanah yang kaya tentang hubungan manusia dengan alam, yang kini dirumuskan sebagai Fiqh al-Bi'ah (fiqih lingkungan). Perspektif turos (tradisional/klasik) memandang manusia sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi, yang berkewajiban memelihara, bukan merusak. Alam bukan objek pasif, melainkan manifestasi dari sifat Rabbul'alamin (Pemelihara alam semesta).
Merusak lingkungan dipandang setara dengan mengancam lima kebutuhan dasar manusia (hifz), termasuk jiwa dan harta. Ayat suci secara tegas melarang: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya" (QS. Al-A'raf: 56).
Namun, perspektif modern dalam fiqih lingkungan, seperti yang didorong oleh gerakan global dan para intelektual Muslim kontemporer, menuntut langkah yang lebih konkret dan struktural. Ini melampaui etika personal menuju advokasi kebijakan publik. Di sinilah peran organisasi seperti WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menjadi krusial. WALHI tidak hanya berbicara soal dosa, tetapi soal data.
Sumatera Barat kehilangan puluhan ribu hektare hutan dalam setahun, dan celah hukum seringkali memfasilitasi penebangan ilegal. Pandangan modern ini menuntut jihad ekologis—perjuangan melawan sistem ekonomi ekstraktif yang mengutamakan rente jangka pendek di atas keberlanjutan hidup masyarakat.
BACA JUGA:Indonesia dan Diplomasi Moral Dunia
Filsafat lingkungan menawarkan kerangka berpikir yang lebih mendalam, menggugat antroposentrisme—pandangan bahwa manusia adalah pusat dari segalanya dan alam hanya pelayan bagi kebutuhan kita. Tangisan gajah-gajah di video viral itu adalah metafora pedih dari krisis ini. Mereka adalah warga asli rimba yang terusik, terusir, dan marah karena rumah mereka digusur tanpa permisi.
Filsafat ekosentrisme mengingatkan kita bahwa setiap makhluk hidup memiliki nilai intrinsik, bukan hanya nilai instrumental untuk keuntungan manusia. Ketika hutan lenyap, kita tidak hanya kehilangan kayu, kita kehilangan ekosistem yang kompleks, siklus air yang seimbang, dan keanekaragaman hayati yang tak ternilai.
Bencana hidrometeorologi yang berulang ini, kata para pakar, adalah harga mahal yang harus ditanggung masyarakat lokal akibat degradasi lingkungan yang parah. Pada akhirnya kita harus segera sadar, bahwa duka banjir dan longsor di Sumatera bukan sekadar takdir alam semata, melainkan sebuah pertunjukan dari kegagalan kolektif kita memahami mandat sebagai penjaga bumi.
Kita perlu mendengarkan amarah gajah, membaca ulang ayat-ayat alam, dan bertindak. Karena sejarah politik (dan ekologi) adalah cerita dadu yang dilempar dan tak bisa berhenti sekali: tak ada satu wajah yang dipastikan akan muncul. Tak ada yang selalu sama. Kecuali, mungkin, lumpur dan air mata jika kita terus abai. Wallahu'alam bishawab. (*)
*) Aguk Irawan MN, Pengasuh Ponpes Baitul Hilmah Yogyakarta