“Yang berbahaya itu bukan game-nya, tapi ketika anak bermain tanpa regulasi emosi dan tanpa figur yang bisa menjelaskan mana yang fiksi, mana yang nyata,” ujar Kasandra kepada Disway.
Ia menjelaskan tiga lapisan pengaruh:
Ideologi / cara pandang
Paparan berulang bisa membuat kekerasan terasa “normal”.
“Anak jadi tidak terlalu kaget melihat kekerasan. Itu yang disebut desensitisasi,” katanya.
Emosi
Anak menjadi lebih mudah marah, frustrasi, atau impulsif.
“Game kekerasan bisa menaikkan emosi negatif dalam jangka pendek,” jelasnya.
Perilaku
Pengaruhnya tidak langsung, namun bisa muncul sebagai agresi ringan.
“Bukan kriminalitas, tapi perilaku agresif kecil—mengejek, mendorong, atau berbicara kasar,” ujarnya.
Namun ia menegaskan bahwa faktor keluarga jauh lebih kuat.
“Anak dengan komunikasi baik di rumah, aturan jelas, dan dukungan sekolah yang hangat—biasanya aman. Game tidak akan menjadi satu-satunya penentu,” tegas Kasandra.
BACA JUGA:Sasar Minimarket, Satgas Akan Tutup Layanan Top Up Game Online yang Terafiliasi Judi Online
Berlokasi di Jalan Kembangan Raya No.11H, Kembangan, Jakarta Barat, di situlah Colosseum Arena bertempat. --Candra Pratama
Regulasi Pemerintah: Ada, tapi Mengapa Banyak Orang Tua Tak Mengetahuinya?
Pemerintah sebenarnya sudah lama membuat pagar digital mulai dari UU ITE, PP Perlindungan Anak di Ranah Digital (PP Tunas), hingga Permen Kominfo tentang klasifikasi game.
Aturan-aturan itu mengatur:
verifikasi usia,
penyaringan konten,