Budaya Victim Blaming, dan Bahaya untuk Korban Kekerasan

Budaya Victim Blaming, dan Bahaya untuk Korban Kekerasan

Sebagai upaya dalam menghadapi fenomena victim blaming ini, Kementerian PPPA sebelumnya telah meresmikan Rancangan Undang – Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang – Undang dalam Sidang Paripurna DPR RI ke – 19 Masa Persid-dok Disway-

JAKARTA, DISWAY.ID-- Kendati kini kesadaran masyarakat akan dampak serta bahaya dari kejahatan kekerasan seksual kepada anak-anak dan perempuan sudah berkembang dengan pesat, masih kuatnya budaya konservatif pun masih kerap kali membayang-bayangi korban kekerasan seksual.

Salah satu budaya konservatif yang kerap salah satu hal paling berbahaya bagi para korban kekerasan seksual sendiri adalah reviktimisasi dan victim blaming

Bukan tanpa alasan, budaya victim blaming ini seringkali menempatkan korban dalam posisi yang patut disalahkan, sekaligus dianggap sebagai penyebab terjadinya tindak kejahatan kekerasan seksual oleh masyarakat, sehingga sulit untuk mendapatkan keadilan.

Sayangnya, budaya victim blamings ini sendiri sayangnya masih terus terjadi di kalangan masyarakat, terutama ditengah-tengah zaman digitalisasi ini. 

Bahkan, cara menggunakan media sosial sendiri seringkali dijadikan senjata bagi para pelaku victim blaming untuk menyalahkan korban.

"Saat ini, korban kekerasan seksual kerap disalahkan oleh banyak pihak terkait cara bergaul dengan lawan jenis hingga cara menggunakan media sosial," ucap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, kepada Disway, pada Selasa 2 Desember 2025.

Victim Blaming Tambah Rasa Takut Korban

Di sisi lain, dampak dari budaya victim blaming sendiri juga tidak bisa bisa diremehkan. Menurut Puspayoga, victim blaming sendiri dapat berpotensi menyerang mental korban, sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap korban, mulai dari adanya rasa takut untuk melapor, trauma, depresi, hingga bunuh diri.

“Menjadi korban pelecehan seksual saja sudah menimbulkan trauma bagi para korban, ditambah dengan komentar atau bahkan tindakan yang tidak seharusnya diberikan kepada korban. Sulit untuk membayangkan bagaimana kondisi para korban kekerasan seksual yang mendapat victim blaming,” tegas Puspayoga.

Sebagai upaya dalam menghadapi fenomena victim blaming ini, Kementerian PPPA sebelumnya telah meresmikan Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021 – 2022 di Jakarta, pada 9 Mei tahun 2022 lalu.

Diketahui, RUU TPKS ini sendiri disusun dengan agar masyarakat dapat memandang kasus kekerasan tersebut dari perspektif korban, untuk mencegah terjadinya reviktimisasi dan victim blaming dalam proses penanganan hukum.

“Karena Pemerintah menyadari kekerasan seksual adalah permasalahan yang kompleks,” ucap Puspayoga.

Peran Media Dalam Mencegah Victim Blaming

Di sisi lain, media massa pun juga memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam mengurangi atau mencegah tendensi masyarakat untuk melakukan victim blaming.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads