Budaya Victim Blaming, dan Bahaya untuk Korban Kekerasan

Budaya Victim Blaming, dan Bahaya untuk Korban Kekerasan

Sebagai upaya dalam menghadapi fenomena victim blaming ini, Kementerian PPPA sebelumnya telah meresmikan Rancangan Undang – Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang – Undang dalam Sidang Paripurna DPR RI ke – 19 Masa Persid-dok Disway-

2. Perluasan Pemanfaatan Call Center SAPA 129

Prioritas kedua adalah Perluasan Pemanfaatan Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA 129). 

Langkah ini difokuskan pada penguatan mekanisme penanganan dan pengaduan yang cepat tanggap dan mudah diakses.

Deputi Desy menjelaskan bahwa percepatan penanganan kasus adalah kunci. 

"Kami akan terus memperluas cakupan dan kapasitas layanan SAPA 129 agar dapat memberikan layanan pengaduan, penjangkauan, dan pendampingan psikologis secara optimal, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Ini adalah jalur cepat bagi korban untuk mendapatkan pertolongan," tegasnya.  

Peningkatan ini juga mencakup integrasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di daerah yang ditargetkan tuntas terbentuk di seluruh wilayah pada tahun 2026.

3. Penguatan Satu Data Perempuan dan Anak Berbasis Desa/Kelurahan

Program ketiga berfokus pada perbaikan akurasi dan ketersediaan data. Satu Data Perempuan dan Anak Berbasis Desa/Kelurahan bertujuan untuk memastikan intervensi kebijakan dilakukan berdasarkan bukti dan data yang valid.

"Data yang akurat, hingga ke tingkat desa dan kelurahan, sangat krusial. Kekerasan seringkali terjadi dalam senyap. Dengan satu data ini, kita bisa memetakan kerentanan, mengidentifikasi titik panas (hotspot) Kekerasan, dan menyusun program pencegahan yang lebih tepat sasaran, serta memantau efektivitas program secara real-time," tutup Deputi Desy Andriani.

Komitmen Terintegrasi Mencapai Target Nol Kasus

KemenPPPA optimistis bahwa dengan sinergi antara Ruang Bersama Indonesia sebagai upaya pencegahan, SAPA 129 sebagai respon cepat penanganan, dan Satu Data sebagai basis perencanaan, target penurunan angka kekerasan seksual dan perundungan yang signifikan pada tahun 2026 dapat tercapai. 

Program ini merupakan refleksi komitmen Pemerintah Indonesia dalam memenuhi hak-hak perempuan dan anak sesuai dengan Agenda SDG 2030 dan instrumen hukum internasional.

Pentingnya Pengawasan Digital

Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi, Novrian menilai masih lemahnya implementasi Undang-Undang Perlindungan Anak menjadi salah satu faktor utama tingginya angka kasus kekerasan terhadap anak, baik sebagai korban maupun pelaku.

Dari puluhan ribu kasus yang tercatat secara nasional, Novrian menekankan bahwa persoalan terbesar bukan semata pada jumlah kasus, tetapi pada kualitas pencegahan dan ketepatan penanganan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads