Ia melampaui batas waktu dan ruang, membentuk jejaring kebaikan yang mempertautkan manusia dengan manusia lainnya.
Di tengah bencana, nilai ini menemukan konteks nyatanya—bahwa iman dan kemanusiaan tidak berhenti pada keyakinan, tetapi hadir dalam tindakan.
Kita juga belajar bahwa solidaritas tidak boleh bersifat musiman.
Ia tidak cukup hadir ketika bencana menjadi berita utama atau saat empati publik sedang tinggi. Solidaritas sejati adalah sikap hidup: kepekaan yang terlatih terhadap penderitaan orang lain, kesiapan untuk terlibat tanpa menunggu diminta, dan komitmen untuk merawat kebersamaan dalam keseharian.
Jika nilai ini tertanam sebagai budaya, bukan sekadar reaksi sesaat, maka bangsa ini akan lebih tangguh menghadapi krisis apa pun—bukan karena bebas dari musibah, tetapi karena kuat dalam saling menopang.
BACA JUGA:Enam Alasan Kuat Gus Zulfa Layak Mengemban Amanah (Pjs) Ketua Umum PBNU
BACA JUGA:Prestasi Kampus, Harapan Bangsa
Menjaga Api Kepedulian
Konser kemanusiaan ini boleh usai, tetapi api kepedulian tidak boleh padam.
Tugas kita adalah menjaganya agar terus menyala—di kampus, di rumah ibadah, di komunitas, dan di ruang-ruang publik lainnya.
Pendidikan, seni, dan kebijakan publik harus terus diarahkan untuk memperkuat empati sosial.
Saya percaya, masa depan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi atau kemajuan teknologi, tetapi oleh kualitas solidaritas warganya.
Ketika empati menjadi kebiasaan dan kepedulian menjadi budaya, kita sedang membangun fondasi bangsa yang beradab.
Semoga ikhtiar kemanusiaan ini menjadi amal jariyah bagi semua yang terlibat, memberi kekuatan bagi saudara-saudara kita yang sedang diuji, dan mengingatkan kita bahwa dalam setiap musibah selalu ada kesempatan untuk menjadi lebih manusiawi.
**Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D. (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)**